KabarIndonesia - Bulan ini, tepatnya tanggal 2 Mei 2008 beberapa hari lalu, negara Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hardiknas bertepatan dengan lahirnya tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (Reden Mas Soewardi—nama aslinya). Penetapan 2 Mei yang merupakan hari lahirnya Ki Hajar Dewantora sebagai Hardiknas ini tentu bukan tanpa alasan.
Alasan utamanya adalah Ki Hajar Dewantara selain membangun sekolah rakyat (Taman Siswa) pada masa penjajahan Belanda di Jawa - tidak termasuk New Guinea—lebih-lebih karena artikel-artikelnya menentang berbagai kebijakan (termasuk pendidikan) Belanda. Dia menentang berbagai kebijakan yang kadang membunuh karakter serta menghambat tumbuh kembangnya orang Jawa ketika itu.
Salah satu artikelnya yang terkenal adalah ”Seandainya Aku Seorang Belanda” yang pernah dimuat dalam surat kabar de Ekspres milik Douwes Dekker tahun 1913 (baca: Wikipedia Indonesia). Artikel tersebut cukup mengubah paradigma banyak orang, lebih-lebih Belanda bahwa orang Jawa (penduduk pribumi) membutuhkan pendidikan yang layak. Lebih-lebih pendidikan yang kontektual dan yang mampu membangun kedasaran kritis akan lingkungannya dan masa depan. Harapannya adalah melalui pendidikan demikian, orang Jawa dapat membangun diri mereka pada saat itu dan membangun masa depan mereka.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara benar-benar dicatat setelah Indonesia merdeka. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya surat Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 305 Tahun 1959. Berdasarkan Kepres tersebut, pada tanggal 20 November 1959, Ki Hajar Dewantara dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional. Selanjutnya, Beliau dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hardiknas.
***
Benang merah yang penting untuk direfleksikan pada Hardiknas tahun 2008–terutama dari perjuangan Ki Hajar Dewantara di Java-- untuk pembangunan pendidikan di tanah Papua adalah kemampuan menganalisis dan menemukan pendidikan Belanda kala itu yang tidak membangun orang Jawa untuk menemukan diri, lingkungannya dan berkembang membangun masa depannya. Hasil analisis dan penemuan itu dia bagikan kepada sesama orang Jawa dan Belanda melalui artikel-artikelnya.
Lalu bagaimana dengan pembangunan pendidikan Papua saat ini dalam konteks perjuangan Ki Hajar Dewantara pada masa lalu di Jawa itu? Apakah dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia –setelah satu hari sebelum 2 Mei Papua dianeksasai ke dalam Republik Indonesia-- telah menempatkan orang Papua dengan karakter, lingkungan, sosial budaya, dan cara berpikir yang berbeda dengan Jawa itu? Apakah ada peluang dan kesempatan bagi orang Papua dalam dan melalui Sistem Pendidikan Nasional Indonesia itu untuk dapat membangun diri mereka pada masa lalu, saat ini dan masa depan? Sudah berapa lamakah anak-anak Papua —mutiara-mutiara hitam di ujung bumi itu— belajar dan dipaksakan belajar segala sesuatu yang abstrak sehingga tidak mengenal sekalipun diri mereka?
Beberapa pertanyaan reflektif di atas ini penting untuk kita semua, lebih-lebih para praktisi di lapangan, pemerhati, dan lebih-lebih para penentu kebijakan pendidikan di Jakarta dan Papua. Apalagi di tahun ketujuh pelaksaan Otonomi Khusus (Otsus) di tanah Papua yang konon katanya pembangunan pendidikan masih ”jalan di tempat grak”. Ada ”grak” karena perhatian Gubernur Papua dan Kepala Dinas Pendidikan Papua cukup besar di bidang ini. Tentu saja, hal ini terlepas dari sorotan media masa lokal dan nasional beberapa waktu bahwa alokasi dana pendidikan dan kesehatan tahun 2008 provinsi Papua masih kecil.
Dengan mengamati pembangunan pendidikan selama ini di tanah Papua, saya ingin merefleksikan satu hal mendasar. Refleksi ini sekaligus juga merupakan satu sumbangsih pemikiran dari saya sebagai anak bangsa Papua. Anak Papua pedalaman yang kadang-kadang merasa korban atas Sistem Pendidikan Indonesia di masa lalu dan hingga tahun ke tujuh Otsus ini masih terus membodohbutakan para mutiara hitam. Reflekasi saya sederhana saja, yakni kontekstualisasi pembelajaran sekolah dasar (SD).
Saya tahu resiko berbicara tentang “kontekstualisasi pembelajaran sekolah dasar”. Banyak orang akan mengatakan ide ini idealistik, dan bahkan politis. Namun sejujurnya, refleksi ini justru muncul ketika mengamati realitas pembelajaran di SD di Papua (pedalaman, lembah, pesisir pantai) yang jauh dari realitas sosial dan terkesan dipolitisir. Maka, ide ini merupakan salah satu usaha saya dalam rangka membantu kita semua untuk mengembalikan eksistensi para mutiara-mutiara kecil pedalaman, lembah, pesisir pantai Papua pada lingkungan, sosial dan budaya, serta karakter mereka.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa pembelajaran SD harus dikontekstualkan? Andai pertanyaan ini ditujukan kepada anak-anak SD pedalaman, lembah, pesisir pantai, mereka akan balik bertanya, mengapa kami selalu belajar dan diajarkan tentang segala sesuatu yang tidak ada di sekeliling kami. Misalnya saja, Kereta Api, Becak, Brobudur, Prambanan, Siti, Budi dan lain-lain melalui buku teks yang dibuat di Jawa. Namun, anak-anak SD itu tidak mungkin akan berkata demikian, antara lain karena mereka masih kacil dan juga karena pembelajaran yang mereka terima saat ini, sedang membunuh karakter mereka.
Kasus pembelajaran tentang Kereta, Becak, Siti, Budi, dan lain-lain (pembelajaran Jawa sentries) itu tidak dilihat langsung oleh anak-anak SD yang baru berkembang. Semuanya adalah barang-barang yang berada di luar realitas kehidupan sesungguhnya yang dialami oleh anak-anak SD di Papua, khususnya yang berada di daerah-daerah pedalaman, lembah, pesisir pantai, khususnya yang tidak memunyai televisi dan radio. Dalam konteks ini, sebagai anak yang baru berkembang, secara psikologis dia selalu berada dalam situasi stress.
Kita tidak dapat melihat. Mengapa? Karena apa yang dia pelajari adalah sesuatu yang abstrak (tidak dapat lihak di sekitarnya). Teman mainnya, tidak ada yang namanya Siti dan Budi. Yang ada adalah nama-nama seperti Yohananes, Yoel, Natalia, Siska dan lain-lain. Apalagi nama-nama benda, gunung dan nama-nama kota adalah sungguh jauh dari kehidupannya. Cara berpikir anak umur SD adalah mekanis, bukan analitis.
Jadi, ini adalah kasus pendidikan yang dipolitisir atau pendidikan membodohbutakan para mutiara kecil di pedalaman, lembah, pesisir pantai.
Mengapa pembelajaran SD harus direformasi? Sedikit kasus pembelajaran (buku teks/pelajaran) Jawa sentries yang dijelaskan di atas adalah sediit contah yang mendukung pendapat ‘selayaknya pembelajaran SD di Papua selayaknya dikontekstualisasi. Tetapi alasan yang kemudian adalah pendidikan itu hakikatnya untuk hidup untuk dirinya, sesamanya, dan untuk masa depan bangsanya. Tentu karena, hakikat pendidikan adalah (meminjam istilah Diryarkara) memanusiakan manusia. Membuat manusia sebagaimana manusia, menghargai harkat dan martabatnya. Pendidikan itu untuk membuat manusia sadar akan dirinya, kehidupannya, orang sekitarnya, lingkungan hidupnya, dan bangsanya. Pendidikan itu bukan untuk membelenggu manusia seperti pembunuhan karakter orang Papua yang telah berlangsung yang masih dinikmati oleh para mutiara kecil di pedalaman, lembah, pesisir pantai.
Dalam rangka mencari alternatif pendidikan SD yang kontekstual, maka hal pertama yang perlu diperhatikan melalui buku teks dan oleh guru adalah menghadirkan siswa para realitas hidupnya. Lingkungan alamnya, sosialnya, budayanya, dan bangsanya.
Selanjutnya, kemerdekaan untuk memilih. Artinya, kebebasan memilih harus diserahkan kepada pembelajar sendiri; wawasan alternatif pilihan; tersedianya pilihan; kemampuan untuk memilih. Kemampuan memilih berdasarkan tarik-menarik antara kekuatan dari berbagai kepentingan yang mempengaruhi; kesiapan keahlian atau keterampilan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan; siswa harus mengenal lokalnya. Pendidikan itu harus diusahakan untuk mampu menumbuhkan imajinasi anak, berwawasan, mampu melihat alternatif, mampu memutuskan untuk memilih alternatif dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri, perenungan atas adanya kekuatan tarik menarik yang dirasakan, pendidikan tidak sentris sekolah, dan pemahaman lokalnya.
Berkaitan dengan hal di atas, kalau kita melihat kehidupan masyarat Papua, mereka benar-benar nikmat akan lokalitasnya. Yang perlu dipikirkan bersama adalah bagaimana mereka bisa menikmati sesuai dengan apa yang mereka nikmati sekarang ini. Maka kita semua diajak untuk mencermati secara benar potensi lokal, diberdayakan secara optimal dari segi “natural” sehingga situasi lokalnya menjadi sumber daya yang berguna bagi masyarakat. Pemanfaatan kekuatan komunitas dan alamnya sangat diperlukan sebagai modal inspirasi.
Pembicaran ini tidak terbatas pada lokalitasnya, tetapi wawasan nasional di luar lokalitas-kontekstual juga diperlukan meskipun yang menanggap tidak begitu banyak. Maka apabila ditanggapi sebagian dari mereka maka diharapkan mereka memiliki imajinasi global. Wawasan global juga perlu diberikan sehingga segala kesempatan tidak terbuang begitu saja. Sistem pembelajaran ini menuntut guru yang profesional dan harus memunyai wawasan yang luas. Namun, hal ini tetap akan berpulang pada kemauan dan kebijakan untuk membangun pendidikan SD kontektual Papua, minimal melalui buku teks.
Kita (Papua) memiliki gubernur dan kepala dinas pendidikan yang benar-benar peduli akan pendidikan (Depan Pendidikan Papua). Termasuk pendidikan SD kontektual ini kiranya menjadi perhatian gubernur dan kepala dinas pendidikan. Ide ini kecil dan masih gagasan liar tetapi tetap bepengaruh untuk masa depan para mutiara kecil yang ada di pedalaman, lembah, pesisir pantai yang menggantikan kita kemudian hari. Mereka harus dibangun sebagai orang Papua yang tidak gagap terhadap dunia global. Pekerjaan rumah yang penting dan berat! Salam Pendidikan!
Sumber:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=REFLEKASI+HARDIKNAS%3A+Membangun+Pendidikan+SD+di+Papua+yang+Kontekstual&dn=20080505202727
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar