Pendidikan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan sistem pendidikan tidak boleh ada disriminasi/ membedakan suku, agama, ras, kepercayaan, dsb. Sistem Pendidikan juga harus diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi hak setiap orang atas pendidikan tanpa bermaksud sedikitkan memberikan peluang bagi terciptanya diskriminasi/ membeda-bedakan seseorang dalam memperolah pendidikan hanya karena alasasn politik, ekonomi, social, budaya, dan hukum. Pengakuan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap orang tidak hanya pengakuan hak secara internasional namun juga pengakuan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia.
Pada dasarnya dalam Pasal 10 Huruf a. Raperda Pemkot Malang tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan juga mengatur bahwa: ”Setiap warga kota (dalam hal ini kota Malang) berhak untuk: mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu”. Secara demikian seolah-olah sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Sisdiknas. Namun jika kita lebih menelaah ketentuan dalam Pasal-Pasal lainnya, maka terdapat Pasal2 yang secara substansi dapat menderivasi (mengurangi) apa yang dikehendaki Pasal 10. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 10 Huruf b yaitu ”Setiap warga kota berhak memperoleh pendidikan khusus untuk yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial ataupun yang memiliki keserdasan dan bakat istimewa”. Pasal 10 Huruf b ini berkaitan dengan Pasal 14 Ayat (1), (2), (3), dan (4). Ayat (1) menyatakan bahwa: ”Pendidikan khusus sebagaimana Pasal 10 Huruf b, merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dari Pasal ini dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki cacat fisik (baik karena bawaan atau karena kecelakaan) akan selalu dimaknai ”mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran”. Ketentuan ini tentunya tidak masih mengandung diskriminasi. Sebab sejak awal sudah menutup akses bagi setiap orang yang mengalami ketidakmampuan fisik untuk dapat memasuki pendidikan selain pendidikan khusus. Padahal dalam realita banyak orang yang memiliki cacat fisik yang sebenarnya tidak mengalamai kesulitan dalam proses belajar, namun karena minimnya sarana-dan prasarana bagi dia untuk menikmati pendidikan sebagaimana orang yang secara fisik mampu, atau karena tidak adanya kewajiban bagi penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas khusus bagi seseorang yang mengalami ketidakmampuan fisik akhirnya menjadikan seseorang yang mengalami ketidakmuampuan fisik menjadi tidak punya pilihan lain kecuali masuk sekolah khusus yang belum tentu dijamin mutunya. Dengan demikian jika yang dimaksud Pemkot Malang sekolah khusus adalah SLB maka tentunya pelur dikaji secara lebih mendalam sejauhmana SLB2 di kota Malang dapat dikategorikan dapat ”memenuhi Pasal 10 Huruf b yaitu: hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu”
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara-negara seperti Belanda, Inggris, Swiss dsb dimana dalam hal mendapatkan pendidikan yang bermutu bukan Pemerintah Daerah yang seolah-oleh memilah2 kemampuan seseorang dari keterbasan fisik, namun sebaliknya Pemerintah Daerah membuat aturan sistem penyelenggaran pendidikan yang tujuannya juga melindungi hak disable yaitu dengan mengharuskan kepada setiap sekolah/ penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas khusus bagi disable sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain. Fasilitas yang dimaksud adalah toilet untuk orang cacat, kursi roda untuk murid yang cacat, gedung bertingkat harus memiliki lif pada setiap lantai, ruangan harus dapat dilalui kursi roda dengan nyaman, adanya fasilitas bacaan yang sama bagi orang buta, dsb.
Raperda Gagal Memaknai Kewajiban Negara
Jika Pemerintah Daerah mampu memahami ketentuan Pasal 13 EKOSOB maka seharusnya Pemerintah mampu menjamin, mengatur, mengambil langkah-langkah untuk lebih melindungi disable sehingga dapat menikmati hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu yang sama dengan orang lain. Bukan malah sebaliknya kewenangan Pemda untuk membuat aturan justru semakin menegasikan adanya jaminan yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Raperda Pasal 14 Ayat (4) yang mengatakan bahwa: ”Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana, pembinaan, dan dana untuk penyelenggaraan pendidikan layanan khusus sesuai dengan kekhasannya”. Kata ”Pemerintah Daerah menyediakan…”, mengandung makna yang ambigue, sebab jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (4): ”Pendanaan wajib belajar (….) berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,dan (….).”. Dengan demikian peningkatan mutu bagi pendidikan khusus akan sangat tergantung dari bagaimana Pemerintah Daerah memaknai prinsip ”kecukupan” dana. Hal ini semakin memperlebar jurang kesempatan bagi disable untuk mendapatkan pendidikan yang mutunya sama dengan non disable.
Raperda masih memberikan peluang adanya diskriminasi dalam pendidikan
Pertama, Raperda yang memberikan peluang yang tidak sama bagi orang yang disable sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentunya merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua, tidak adanya satu pasalpun yang memuat tentang ”ANCAMAN PINDANA’ bagi siapapun yang baik sengaja maupun tidak melakukan diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan, semakin membuktikan bahwa Raperda ini nantinya tidak dapat memastikan atau ”to ensure’ bahwa diskriminasi pendidikan memang benar-benar dihilangkan. Ketiga, dimunculnya berbagai jenis pendidikan seperti PENDIDIKAN UNGGULAN (lihat Pasal 16 Ayat 3) dan Pendidikan BERTARAF INTERNASIONAL (Lihat Pasal 65 Ayat 3) semakin jauh dari tujuan mewujudkan dan memberi peluang pendidikan ”bermutu bagi semua”, karena pengklasteran ini dapat menimbulkan kesan mutu yang berbeda. Bukankah hal ini malah bertentangan dengan MISI Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Kota Malang sebagaimana tertuang dalam Raperda Pasal 3 Ayat 5 yaitu ”mengembangkan sistem pendidikan yang memiliki keunggulan kompetitif di tingkat lokal, nasional dan internasional”. Hal ini akan semakin menjadi persoalan dan membawa Sistem Pendidikan baik di kota Malang maupun di Indonesia menjadi semakin tidak jelas dan bahkan cenderung disriminatif bagi si kaya dan si miskin jika SEKOLAH UNGGULAN atau SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL hanya bisa diakses oleh orang kaya karena hanya mereka yang mampu membayar biaya sekolah. Hal ini lebih dikhawatirkan dalam penyelenggaraan sekolah ekslusif tersebut diserahkan sepenuhnya kepada walikota dalam bentuk PERWALI (lihat Pasal 65 Ayat 9). Diskusi yang perlu dikembangkan atas persoalan ini adalah mampukan DPRD memberikan control yang cukup kuat terhadap kinerja eksekutif dalam hal ini WALIKOTA dalam mengatur dan menyelenggarakan jenis-jenis ekolah tersebut dan menjamin bahwa setiap kalangan masayarakat memiliki akses yang sama untuk menikmati sekolah2 eksklusif tersebut.
Sumber: http://legal.daily-thought.info/2009/02/raperda-sistem-pendidikan-kota-malang-menutup-akses-wong-cilik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar