Rabu, 29 April 2009

KONTRADIKSI KTSP DAN UN

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap Indonesia dapat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif pada 2025. Pernyataan itu dikemukakan Presiden dalam pidato sambutannya pada acara puncak Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Lapangan Shiva, Yogyakarta, Sabtu (25/5) setahun lalu. “'Kurang 21 tahun dari sekarang (hendaknya) dapat dihasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif,”' katanya. Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif yaitu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, menurut Presiden, adalah aset dan kekuatan bangsa yang penting dalam menghadapi era globalisasi.Kepala Negara juga menekankan arti pentingnya pendidikan bermutu bagi kelangsungan dan kelestarian bangsa. Menurut Kepala Negara, Indonesia tidak akan maju dan tidak akan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam serta tidak mampu bersaing pada era global jika standar pendidikan rendah. Pendidikan, lanjut Presiden, diperlukan untuk mencetak manusia Indonesia yang pro-aktif, tidak hanya menunggu atau pasif. Dalam pidatonya Presiden Yudhoyono menekankan perlunya perubahan paradigma atau perubahan cara melihat suatu permasalahan, yaitu melihat secara menyeluruh.Dikatakan juga bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang tangguh untuk membentuk karakter bangsa.

Ujian Nasional Meningkatkan Mutu ?

Ujian Nasional untuk tahun ajaran 2007/2008 mulai berlangsung. Untuk siswa SMA/SMALB/SMK/MA telah dilaksanakan dimulai tanggal 22-24 april, dengan peserta seluruh Indonesia sebanyak 2.260.148. Siswa SMP/MTs/SMPLB tanggal 5-6 Mei dengan jumlah peserta 3.567.472, dan terakhir siswa SD/MI/SDLB pada tanggal 13-15 Mei dengan jumlah peserta 4.599.217. Ujian Nasional (UN) tahun 2008 ini jumlah mata palajaran yang diujikan bertambah. Setelah sebelumnya UN SMP dan SMA hanya memiliki tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika (Jurusan IPA), Ekonomi (Jurusan IPS saja), Bahasa Asing (Jurusan Bahasa). Mulai tahun ini untuk tingkat SMP penambahan hanya untuk mata pelajaran IPA. Untuk tingkat SMA penambahan terjadi pada Jurusan IPA, yaitu : Fisika, Biologi, Kimia. Untuk Jurusan IPS di SMA ditambah dengan mata pelajaran : Sosiologi, Geografi, atau mata pelajaran dasar pada jurusan tersebut. Sementara untuk SMK tidak luput dari penambahan mata pelajaran, yang disesuaikan dengan program kekhususan pada SMK dimaksud. Dan ini adalah otoritas direktur SMK untuk menambah mata uji nasional di SMK. Maksud penambahan ini, menurut Sekretaris BSNP, Suharsono, untuk menambah angka kelulusan siswa, karena mata pelajaran yang ditambahkan adalah mata pelajaran khusus jurusan masing-masing dan otomatis diharapkan siswa tentu sudah lebih menguasai pelajaran spesialisasinya itu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 45 tahun 2006, pemerintah menetapkan angka 5,00 sebagai standar kelulusan. Untuk tahun 2008, secara tidak langsung BSNP menyatakan angka standar kelulusan tersebut menjadi 5,24.

Sejak mulai dicanangkan perencanaan Ujian Nasional sudah mengundang kritik dari berbagai pihak. Di luar kritik soal payung hukum, kritik mengenai substansi ujian nasional itu sendiri menjadi sangat penting. Misalnya, benarkah UN merupakan standar nasional pendidikan dan bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sebagaimana pernah dikemukakan Mendiknas? Idealnya memang begitu, sepanjang pengalaman masa lalu menunjukkan demikian.

Tapi yang terjadi justru menunjukkan hal sebaliknya. Tahun 2003, ketika masih bernama Ebtanas, hasil akhir berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM) rata-rata sangat rendah, yakni 5,15 untuk SLTP dan 4,56 untuk SMU. Itu pun setelah dilakukan konversi nilai, agar tingkat kelulusannya tinggi. Bahkan dinas pendidikan di daerah diberi izin memberi bobot pada NEM, dan menggabungkannya dengan nilai rapor. Konversi atau penyesuaian nilai juga masih diberlakukan terhadap hasil UAN 2004. Anehnya, konversi nilai dilakukan ke bawah untuk nilai tinggi, dan ke atas untuk nilai rendah. Kebijakan ini dianggap tidak adil, tidak mendidik, bahkan ada kesan membohongi hasil sistem yang dikembangpaksakan secara nasional. Penyesuaian nilai ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menggelar UAN, dan semata-mata hanya ingin mengejar tingkat kelulusan yang tinggi. Artinya, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tak tercapai. Disparitas mutu pendidikan antarsekolah dan antarwilayah tetap tak bisa dielakkan lagi.Bila sekarang Depdiknas menggelar UN tanpa konversi nilai, bahkan dengan ambang kelulusan 5,25, pasti banyak peserta ujian yang menjerit. Sebab disparitas mutu tetap berlangsung, dan tak bisa ditangani hanya dengan menyediakan tiga paket soal dengan tingkat kesukaran yang berbeda.

KTSP dan UN yang Kontradiktf

Mulai tahun ajaran 2006, kurikulum yang dikembangkan disekolah-sekolah adalah KTSP. KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan/kelompok. Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karena itu, kurikulum harus bisa menjawab tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

Sejatinya, KTSP tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya (berbasis kompetensi). Perbedaan utama KTSP memberikan wewenang penuh kepada sekolah/kelompok untuk menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar yang sudah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya. KTSP berdasarkan NSP berlaku pada jenjang pendidikan formal dan nonformal, jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) dan menengah (SMA dan SMK), dan disusun oleh satuan pendidikan/kelompok dengan hanya mengacu pada Standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Pengembangan KTSP yang beragam seharusnya mengacu pada 8 SNP untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun, saat ini penyusunan KTSP hanya mengacu pada dua, yaitu SI dan SKL. SNP lainnya belum dijadikan acuan dalam pedoman penyusunan KTSP. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Depag kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Namun, sampai saat ini aparat birokrat masih sangat banyak yang belum siap. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (b) beragam dan terpadu; (c) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (d) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (e) menyeluruh dan berkesinambungan; (f) belajar sepanjang hayat, dan (g) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Namun, pendidik/kelompok sebagai pelaksana masih meraba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar dan peralatan untuk mendudkung proses belajar mengajar.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dibuat sesuai kreativitas guru, dan kondisi muatan lokal sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan ujian nasional (UN). berkualitas. Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan dari Universitas Atma Jaya Jakarta M Marcellino PhD. Menurut dia, KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan.

KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. "Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula," katanya. Kontradiksi antara KTSP dan UN, menurut Marcellino, menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik.

KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Apalagi berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. "Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antarsekolah yang berada dalam satu desa, baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang sama di seluruh Indonesia," katanya.

Dia mengatakan, menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangat sulit. Oleh sebab itu, perlu mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN yang sejalan dengan KTSP.

Marcellino menerangkan, UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Dia mencontohkan, sekolah di Maumere, Poso, atau di Papua, pada umumnya tentu memiliki perbedaan signifikan dari segi mutu bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta.

"Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentunya memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah," katanya.

Dijelaskan, Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. "Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya,'' ujarnya.

Sudah rahasia umum, katanya, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Marcellino menambahkan, lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.

Dikatakan, semua pihak sebaiknya juga mendukung usaha pemerintah untuk mendapatkan standardisasi pendidikan nasional. Hanya saja, perlu pembenahan-pembenahan terdahulu untuk sekolah-sekolah yang belum maju dan berada jauh dari sentra administrasi negara. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, adalah kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga.

Berbicara tentang mutu pendidikan, dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. ''Mendorong semua sekolah di Tanah Air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak.

KTSP yang memang guru yang membuat, sedangkan UN yang membuat BNSP dengan berpedoman kompetensi dasar. BNSP dan diknas berasumsi pihak sekolah dan guru mampu menjalankan KTSP dengan baik sesuai dengan kondisi sekolah dan murid?. Banyak guru yang faktanya masih kesulitan untuk memahami dan menjalankan kurikulum yang baru. Kalau demikian yang terjadi tanpa ada pemantauan dari pihak Diknas dan BNSP tentang fakta di lapang, tentu UN yang dimaksudkan untuk menilai standar mutu pendidikan tidak akan tercapai. Seharusnya dilakukan dahulu uji kelayakan, baru kemudian soal-soal UN dibuat. Ditambah lagi jika kita cermati evalusi pendidikan seharusnya tidak mengesampingkan proses. KTSP gambaran kualitatif, UN kuantitatif. Soal UN belum dipastikan apakah sudah diserap oleh anak dan guru atau belum. Yang terjadi hanya berdasar kompetensi dasar semata.

Ketua Badan Standar Pendidikan Nasional Pendidikan (BSNP) Yunan Yusuf mengatakan, KTSP akan terus dikaji dan diharapkan pada 2009 semua sekolah sudah mampu menerapkannya. Untuk UN, akan disesuaikan dengan materi-materi pelajaran KTSP. Dia menegaskan, UN masih relevan sebagai alat ukur pencapaian kualitas pendidikan nasional. Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengadakan UN. "Meski UN menuai banyak kritik, namun pada kenyataannya UN merupakan faktor penting dalam menilai standar pendidikan nasional, sehingga UN tetap dilaksanakan


Sumber: http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar