Senin, 27 April 2009

Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk

A. Pendahuluan

Kecenderungan kekerasan bernuansa agama, juga konflik etnik yang makin kental di beberapa bagian wilayah Indonesia, makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang dikenal sangat majemuk ini. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan sedemikian rupa. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.

Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif, dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat beriman terhadap umat yang berbeda keyakinan imannya (agamanya). Klaim kebenaran (truth claims) suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.

Berangkat dari pernyataan di atas, tulisan ini akan mengkaji beberapa persoalan yang berhubungan dengan pendidikan agama dalam masyarakat majemuk. Pertanyaan yang diajukan untuk persoalan tersebut adalah: Mengapa terjadi eksklusivisme dalam pendidikan agama? Bagaimana Islam mengajarkan kehidupan beragama dalam masyarakat majemuk? Tantangan apakah yang dihadapi pendidikan Islam untuk menciptakan generasi rahmatan lil'alamin, khususnya dalam konteks kehidupan umat manusia yang sangat plural? Bagaimanakah paradigma pendidikan Islam yang diperlukan dalam masyarakat majemuk?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan mengelaborasi sejumlah pemikiran baik dari kalangan Muslim maupun kalangan di luar Muslim. Sejatinya, penulis sendiri berpendirian bahwa selain menggali dari referensi pokok Islam, yaitu Qur'an dan Sunnah, juga perlu mengambil hikmah dari kearifan pemikiran umat manusia lainnya, tanpa membedakan perbedaan latar belakang bahasa, ras dan agama. Dengan demikian, tujuan agama rahmatan lil 'alamin dan implikasinya terhadap etos pluralitas dalam pendidikan Islam diharapkan dapat tercapai.

B. Sumber-Sumber Eksklusivisme

Eksklusivisme agam tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang melekat dari teks-teks suci agama oleh para pemeluknya. Eksklusivisme ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk pemahaman yang sering dimonolitikkan sebagai kebenaran tunggal, sehingga mengisolasi diri dari tafsir pemahaman keagamaan kelompok lainnya. Sifat isolasionisme ini menutup pintu-pintu dialog bagi setiap aneka wacana pemahaman (pemikiran) yang berbeda dengan apa yang dipahami satu kelompok agama dengan kelompok lainnya.

Rumusan yang lebih eksklusif dari sifat isolasionisme itu oleh intelektual Barat disebut dalam fenomena fundamentalisme agama. Istilah fundamentalisme merupakan sebuah kata yang kontroversial, karena banyak penyebutan para fundamentalis oleh pihak lainnya yang tidak akan menerima istilah tersebut untuk dilekatkan kepada mereka sendiri. Oleh Anthony Giddens (1999:49), dengan mengacu kepada kebenaran ritual, fundamentalisme adalah pembelaan tradisi dengan cara tradisional. Rumusan lainnya yang menekankan betapa fundamentalisme menampakkan wajah eksklusif yaitu karena ia terumus dalam konsep-konsep seperti otentisitas, skriptural, benar-sendiri (self-righteous), pemurnian (purity), keselamatan dan superioritas pengetahuan, sehingga mendorong orang yang dianggap other keluar dari falsafah kehidupannya (Moussalli, 1994: 88).

Sumber eksklusivisme agama itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari rumusan yang dianggap suci dari beberapa agama. Sebagai contoh seperti dalam Katolik Roma sebelum Konsili Vatikan II, yaitu "Extra Ecclesian nulla sakus" yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja (Kung, 1986: 23-24). Atau dengan kata lain, tidak ada keselamatan di luar penganut Kristen, kecuali ia mengikuti kekristenan itu sendiri. Dalam agama Yahudi, konsep "bangsa terpilih" (people chosen), seperti disebut dalam Kitab Eksodus (Keluaran) 19:5-6 dan Deutoronomi 10:14-15, membawa pengertian bahwa bangsa/umat manusia lain selain Yahudi adalah makhluk yang rendah, tidak dijanjikan keselamatan oleh Tuhan. Implikasinya adalah Tuhan agama Yahudi akan jatuh dalam bentuk rasisme (Pieris, 2001: 67).

Dalam Islam sendiri, konsep eksklusivisme agama sering dilihat dari penafsiran ayat Qur'an yang menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam (QS. 3:19), atau kalimat "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS. 3:185). Bahkan rumusan ayat lainnya menyatakan "…[J]anganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam" (QS. 3:102). Rumusan kalimat teks Qur'an itu sering membawa implikasi buruk ketika ditafsirkan secara naif untuk menghadapi kelompok agama/umat lainnya saat kepentingan-kepentingan bersifat imanen (ekonomi, politik, atau status sosial) terancam. Atau di antara sesama Muslim sendiri, ada penjustifikasian teks-teks Qur'an bahwa kelompok yang berbeda dapat dianggap "kafir" lantaran tidak sejalan dengan garis pemahaman keagamaan kelompoknya.

Klaim-klaim kebenaran atas teks suci agama itu, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan yang menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang katanya ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia kepada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan (keselamatan) itu sendiri. Dalam aras yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu nampak dalam sikap anti-dialog, isolasionis, dan antagonis baik kepada umat agama lain maupun terhadap sesama umat agamanya dari kelompok (mazhab) yang berbeda.

Dalam dunia pendidikan, sikap totalitarianisme klaim kebenaran menampakkan dirinya dalam bentuk pengakuan sendiri bahwa pendapat dirinya saja yang benar. Sikap memutlakkan satu pendapat sebagai satu kebenaran, menolak inovasi pemikiran baru, finalitas kebenaran, dogmatis dan anti dialog terhadap perbedaan pemikiran (pendapat), merupakan derivasi ciri-ciri lainnya.

Bagi penulis, "eksklusivisme" agama-agama merupakan sekadar suatu ciri identitas kelompok yang dianggap sebagai kewajaran sepanjang tidak saling menegasikan keberadaan indentitas kelompok lainnya yang masih ada dan tumbuh bersama-sama. "Eksklusivisme" agama merupakan sebuah keniscayaan untuk pencarian Realitas Tertinggi (Ultimate Reality), sehingga ia hanyalah sebuah khazanah antar-iman. Persoalannya, ekslusivisme agama menjadi terasa buruk ketika masing-masing kelompok agama yang berbeda saling berebut kebenaran. Dalam kehidupan sosial, "perebutan" kebenaran itu menimbulkan sikap prasangka, tidak toleran, dan kekerasan (fisik dan non-fisik).

C. Pandangan Islam tentang Pluralitas Agama

Di muka telah dikemukakan bahwa Islam memiliki eksklusivisme tersendiri, yang oleh penulis dianggap sebagai ciri identitas di antara agama-agama (keimanan) lainnya. Jika dicermati, teks Islam seperti dalam Qur'an itu sendiri mengakui keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Pengakuan eksistensi agama-agama lain dalam Islam merupakan prinsip toleransi Islam terhadap pluralitas agama. Prinsip toleransi Islam itu dapat disimak dalam QS. 10: 99 yang secara eksplisit menyatakan:

"Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Dari rumusan (terjemahan) ayat Qur'an itu nampak sekali bahwa dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan itu adalah kehendak Allah. Pada gilirannya, seseorang tidak punya hak untuk menghakimi benar-salah keyakinan seseorang, kecuali diserahkan semuanya kepada Allah semata. Karena Allah sajalah yang berhak memberikan hidayah dan jalanNya kepada siapapun (QS. 16: 125).

Islam juga mengajarkan sikap saling menghormati antara berbagai komunitas manusia beriman (QS. 6:108). Dalam kehidupan sosial, sikap ini ditunjukkan dengan sikap saling menolong/bekerja sama tanpa diskriminasi keyakinan dan perilaku yang salah.Di samping itu, Islam pun mengajarkan keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam dalam diri manusia, sehingga kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah (sunnatullah) dari prinsip tersebut. Keseluruhan ajaran Islam mengenai pluralitas agama itulah yang oleh Roy P.Mottahedeh (1996) dianggap sebagai prinsip "teologi toleransi" dalam Islam.

D. Paradigma Lama Menghadapi Pluralitas

Karakter Islam sebagai agama misi (dakwah) membawa konsekuensi penting dalam hubungannya dengan agama-agama lain yang telah ada. Sifat misionaris dalam Islam nampak antara lain dalam QS. 16:125 yang menyatakan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…." Metode seruan (dakwah) kepada Islam semacam itu membawa pengertian bahwa Allah memberi potensi kepada diri manusia untuk beriman. Persoalan ia mau mengikuti (beriman) Islam atau tetap menolak, maka itu semua diserahkan kembali kepada Allah. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. 16: 125).

Pernyataan tersebut di atas dikuatkan dengan penjelasan QS. 2: 256 yang menyatakan bahwa,

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. 2: 256).

Islam, yang dalam beberapa pengertiannya diartikan sebagai agama berserah diri kepada Tuhan (aslama), kesejahteraan atau kedamaian (salam), dan keselamatan (salim) (Rahardjo, 1996: 142), sering disalahpahami dan diperkenalkan secara distortif sebagai agama yang menolak pluralitas dan toleransi agama. Ini merupakan warisan generasi Perang Salib dan kolonialisme Eropa terhadap dunia Islam hingga pertengahan abad ke-20, yang hingga sekarang masih sulit dihapus dari memori kolektif masyarakat Barat-Kristen.

Pandangan terhadap agama lain, khususnya terhadap Abrahamic faiths, seperti Yahudi dan Nasrani (Kristen), teramat jelas bahwa Islam menganjurkan dialog antar iman. Tujuan dialog ini adalah agar setiap pemeluk bisa memperdalam iman masing-masing dan menyampaikan pengalamannya pada orang lain (Rahardjo, 1996: 151).

Sejarah Islam yang sempat diwarnai pertumpahan darah dalam silang bergantinya imperium Islam sejak suksesi kekuasaan empat khilafa ur-rashidin hingga akhir Khilafah Ottoman di Turki, memberi kesan bahwa Islam agama pedang, penuh kekerasan. Selain itu, dunia Islam yang sempat dijajah mengalami proses isolasi dalam proses pendidikannya, sebagai reaksi melawan pendidikan model kolonialisme, sehingga menolak apa-apa saja yang dianggap berbau Barat (Kristen,Eropa), seperti modernisasi dan teknologi modern. Ada semacam post-colonial syndrome di antara kaum Muslim, khususnya dalam pendidikan Islam yang pada gilirannya melanggengkan model-model kolonialisme ilmu, seperti dalam bentuk dikotomisasi antara ilmu dan agama, ada ilmu umum dan ilmu agama. Ada ilmu dunia dan ilmu akhirat, yang satu dan lainnya saling dikontraskan secara ideologis.

Dalam pendidikan Islam, prinsip finalitas kebenaran dari tafsir teks suci agama melahirkan bentuk-bentuk klaim kebenaran yang cenderung eksklusif. Lahirnya teologi Asy'ariah dan Mu'tazilah dalam Islam pada gilirannya melahirkan konflik-konflik internal di kalangan masyarakat Muslim sendiri. Belum lagi dengan konflik dalam mengikuti keberpihakan terhadap tradisi Nabi Muhammad (sunnah) dan keluarganya (ahlul bayt) melahirkan dua tradisi keagamaan yang berbeda antara sunni dan shi'i yang bertahan berabad-abad hingga sekarang. Klaim kebenaran ini pada gilirannya mengarah pada sikap saling menegasikan (mengkafirkan) satu dengan lainnya. Klaim kebenaran juga melahirkan komunalisme tidak hanya ketika menghadapi sesama Muslim, tetapi terutama terhadap apa yang di luar kepentingan etnik, politik, dan ekonomi komunalnya, yang kemudian dijumbuhkan dengan Islam sebagai agama yang dipeluknya.

Sebagai sebuah keniscayaan historis, aneka ragam paham keagamaan tersebut merupakaan kekayaan khazanah Islam dalam sejarah dinamis peradabannya. Hanya saja, Islam sebagai rahmat seluruh jagat raya (rahmatan lil 'alamin) seharusnya tidak dinodai oleh kesempitan cara berfikir dogmatik (taqlid), sikap skripturalis terhadap pemaknaan teks-teks suci agama, dan kepentingan temporer pemeluknya yang diatasnamakan kepada Islam. Fungsi agama tidak lebih hanya sebagai alat pembenar kepentingan kolektif segelintir komunitasnya saja.

Jika pola pendidikan Islam masih mempertahankan prinsip finalitas kebenaran cara beragama, dan eksklusif terhadap ragam perbedaan pemikiran (tentang kebenaran), serta "sakralisasi" terhadap pemaknaan teks-teks agama, maka pertanda eksistensi Islam sebagai agama akan tidak memiliki masa depannya. Sikap menutup diri (isolasionis) dalam beragama akan menumpulkan kepekaan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Wajah humanis Islam akan menjadi monolitik dalam wajah kekerasan komunal yang ditonjolkan pemeluknya ketika menghadapi pluralitas.

E. Paradigma Baru Menghadapi Pluralitas

Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat (iman) manusia lainnya sangat diperlukan.

Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-teka agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model "open-ended"[1] tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama "post-dogmatik" (Qodir, 2002).

Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk (agama), adalah penting untuk mengemukakan pendapat Soedjatmoko (1983;1990) di sini. Menurut Soedjatmoko (1983: 9)), peran agama dalam pendidikan adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya. Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia.

Kemauan berbagi dengan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, dan peka dengan batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan terhadap ketidakadilan (Soedjatmoko, 1990: 8), merupakan indikator-indikator lainnya yang diharapkan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Selain itu, menghadapi pluralitas agama, pendidikan Islam hendekanya mampu membentuk karakter umatnya yang bisa bekerja sama dengan orang lain atau pihak lain terlepas dari perbedaan (diskriminasi) kebudayaan, ras atau agama. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah agar umat memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya dengan masalah-masalah perkembangan baru (Soedjatmoko, 1990:9)

Untuk mau berbagi kemanusiaan, maka pendidikan Islam perlu memahami eksistensi umat agama lain sebagai sesama makhluk Tuhan dengan dialog dan toleransi. Dialog merupakan konsekuensi dari keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Tujuan dialog antar iman (agama), mengikuti Herb Feith (1998), adalah belajar memahami eksistensi masing-masing. Jadi, bukan hanya demi kerjasama menghadapi pihak ketiga. Dialog bukan pula hanya demi menjauhkan bahaya saling konflik. Jadi, "[D]ialog bukan hanya menambah pengetahuan mengenai sebuah kelompok lain. Yang lebih penting lagi memperdalam iman kita masing-masing dan memperkaya spiritualitas kita masing-masing" (Feith, 1998:4).

Toleransi pun tidak hanya dilakukan kepada umat agama lain, tetapi perlu dilakukan di dalam tubuh Muslim sendiri. Adalah mengherankan, jika dialog dan toleransi agama terhadap umat agama lain gencar dipropagandakan, tetapi terhadap sesama Muslim sendiri, karena berbeda mazhab fiqh dan pemikiran, justru dilupakan sama sekali. Penulis berpendapat seruan ini sudah sering disampaikan oleh segenap pemuka Islam, tetapi selalu mengalami kebuntuan, karena toleransi dan dialog agama masih menjadi milik elit agama, belum menjadi sebuah gerakan massa. Paling jauh, dengan komunitas keagamaan yang berbeda ditanamkan sikaf inklusif, tetapi di antara sesama komunitasnya sendiri justru diperkeras sikap eksklusifisme. Ada standar ganda dalam pola hubungan keberagamaan.

Tanggung jawab Muslim sebagai khalifatullah di muka bumi akan kehilangan makna keberimanannya kepada Allah, tanpa kehadiran umat manusia lainnya meskipun berbeda agama. Menghadapi krisis global sekarang pun, beban kekhalifahan tidak cukup hanya ditanggung oleh umat Islam sendirian. Dalam Etika Global yang digagas Hans Kung (1991) adalah menarik untuk dicermati pikiran perlunya menjadikan setiap manusia untuk diperlakukan manusiawi. Keharusan itu diwujudkan dalam komitmen kemanusiaan kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup, budaya solidritas dan tata cara ekonomi yang adil, budaya toleransi dan hidup yang benar, dan budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan. Untuk mewujudkan komitmen itu, maka dialog antar agama menjadi penting. Dalam rumusan Hang Kung yang terkenal sebagai etika global itu adalah bahwa "No Survival Without A World Ethic, No World Peace Without Religious Peace, No Religious Peace Without Religious Dialogue" (Kung, 1991). Dari beberapa pemikiran tersebut, maka aspek pluralis, humanis, dan toleran dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan, sehingga tumbuh kepekaan sebagai sesama umat manusia.

F. Penutup

Idealitas pendidikan Islam yang pluralis, humanis dialogis dan toleran nampaknya akan sulit dikembangkan, jika Islam dimaknai sebagai "negative revelation" (Shanks, 1999) yang menonjolkan otoritarian-isme, eksklusif dan anti dialog. Dengan pengembangan sikap pluralis, humanis dialogis dan toleran dalam pendidikan Islam, pada gilirannya tugas yang berat adalah menerjemahkan teks-teks suci Islam (Qur'an dan Sunnah) sebagai "positive revelation" yang dalam istilah Andrew Shanks (1999) disebut sebagai "isonomy". "Isonomy" merupakan situasi wahyu di mana di masyarakat ada keadilan, ada perdamaian. Untuk mewujudkan "isonomy" ini, maka tawaran "open-ended" dan "post-dogmatik" dalam keberagamaan umat Islam menjadi upaya keras yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam.



Sumber: http://www.msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=pendidikan&baca=artikel&id=110


Tidak ada komentar:

Posting Komentar