Rabu, 22 April 2009

Acuan Kelulusan Siswa

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada beberapa tahun terakhir selalu mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan di tanah air. Termasuk tahun pelaksanaan UN tahun ini. Apabila diperhatikan, tanggapan berbagai tanggapan itu muncul setelah ditetapkannya standar minimal nilai UN sebagai patokan kelulusan siswa. Dan standar nilai UN tersebut setiap tahun ditingkatkan.

Bagi pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, diadakannya UN bertujuan baik. Terutama untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara lain. Namun, bagi sebagian masyarakat menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak wajar. Karena kualitas pendidikan di tanah air yang belum merata. Apalagi kalau dilihat dari kualitas pengajar, sarana dan parasarana terdapat kesenjangan yang signifikan antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Sehingga sangat tidak memungkinkan menjadikan UN sebagai satu-satunya patokan kelulusan.

Berangkat dari asumsi itulah kiranya kebanyakan masyarakat menolak dijadikannya nilai UN sebagai standar kelulusan. Karena kualitas pendidikan tiap daerah berbeda-beda. Hal ini disebabkan belum meratanya pembangunan atau peningkatan pendidikan di tanah air. Masih terkonsentrasi pada daerah tertentu. Faktanya, ada beberapa sekolah yang hampir roboh dan tak layak pakai masih digunakan sebagai tempat belajar karena belum menerima bantuan renovasi dari pemerintah.

Barangkali hal itu telah menjadi permasalahan pendidikan yang usa ng di negeri ini. Telah banyak pakar pendidikan dan oran g yang peduli pada dunia pendidikan tanah air menyerukan supaya adanya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, usulan, kritikan dan tanggapan dalam berbagai bentuk yang telah disampaikan pada pemerintah hanya sedikit sekali yang ditindaklanjuti.

Walaupun tanggapan dari pemerintah dirasa kurang, ada baiknya kita senantiasa mengingatkan pemerintah supaya lekas menuntaskan permasalah pendidikan di negeri ini.

UN Dan Otonomi Pendidikan

UN sebagai salahsatu bentuk evaluasi, hendaknya difahami sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan nomor 19 tahun 2005 pasal 1 ayat 20, ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu pendidikan.

Adapun beberapa aspek yang menjadi objek penilaian dalam evaluasi termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil peserta didik secara berkesinambungan. Sehingga penilaian (evaluasi) yang dilakukan oleh pengajar lebih komprehensif.

Namun apabila UN dijadikan sebagai satu-satunya standar kelulusan, maka itu sudah tidak sesuai dengan UU tersebut. Dalam artian kita harus mengubah kebijakan tentang standar kelulusan. Dan penetapan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan siswa itu tidak sesuai dengan semangat otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi dalam bidang pendidikan.

Dengan alasan, dalam pelaksanaan UN saat ini yang dijadikan acuannya adalah Penilaian Acuan Patokan (PAN) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sehingga mengabaikan penilaian oleh lembaga atau pengajar yang setiap hari memantau proses pembelajaran siswa. Inilah ketidaksinkronan UN dengan otonomi pendidikan.

Acuan Kelulusan

Penilaian hasil evaluasi atau ujian dalam proses belajar mengajar (PBM) senatiasa mengacu pada acuan berikut.

Pertama, Penilaian Acuan Patokan (PAP) yaitu acuan atau rujukan penilaian pencapaian siswa dalam proses pembelajaran sesuai dengan standar penilaian yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pendidikan dalam lingkup tertentu. Dalam hal UN, maka pemerintahlah (baca: Departemen Pendidikan) yang menentukan acuan ini. Termasuk penetapan mengenai berapa nilai minimal siswa yang harus dicapai siswa sebagai penentu kelulusannya.

Keunggulan acuan ini adalah nilai minimal yang harus dicapai siswa peserta UN di seluruh wilayah di Ind onesia sama. Dan mudah mengawasinya karena dilaksanakan serentak.

Adapun kekurangannya, pengajar tidak memperhatikan nilai keseharian siswa atau prilaku siswa sehari-hari di sekolah dalam menetapakan kelulusan siswa. Serta siswa yang mencapai nilai standar relatif sedikit. Karena tenaga pengajar, sumber belajar (referensi) dan sarana pemebalajaran di setiap sekolah atau daerah berbeda-beda (tidak merata).

Acuan inilah rupanya yang digunakan oleh pemerintah kita. Sehingga siswa yang tidak mampu mencapai nilai minimal kelulusan dalam UN akan ditetapkan tidak lulus, walaupun nilai kesehariannya baik. Dengan mengacu pada acuan ini saja, maka hakikat dari proses pendidikan (pembentukan keribadian) tidak akan tercapai dan usa ha siswa dalam proses belajar selama beberapa tahun akan sia-sia.

Kedua, Penilain Acuan Norma (PAN). Acuan penilaian ini mengacu pada realitas pencapaian (prestasi) siswa dalam suatu kelas yang didasarkan pada rata-rata kelas atau lembaga. Sehingga nilai standar kelulusan setiap lembaga dan daerah berbeda satu sama lain.

Keunggulan penilaian dengan acuan ini akan memberi kewenangan kepada pengajar dan lembaga pendidikan untuk menentukan kelulusan siswa berdasarkan pada proses belajar siswa sehari-hari. Tidak hanya mengacu pada hasil UN saja. Sehingga penilaian ini dianggap lebih komprehensif dibanding dengan PAP.

Apabila kita menggunakan PAN sebagai acuan. Maka kita akan dihadapkan pada perbedaan dalam menentukan standar penilaian tiap daerah dan lembaga. Sehingga kita akan sulit mengukur kualitas pendidikan secara keseluruhan di Indonesia. Dan kita akan kalah cepat bersaing dengan negara lain yang menetapkan standar minimal kelulusan serta kita akan kesulitan menentukan kualitas pendidikan nasional sebagai bahan evaluasi pendidikan.

Ketiga, acuan yang merupakan kombinasi dari dari acuan yang pertama (PAP) dan kedua (PAN). Acuan ini bertujuan meminimalisir kekurangan pada acuan kesatu dan kedua. Dalam aplikasinya kita tetap mengadakan UN, tetapi tidak menjadikannya sebagai satu-satunya acuan kelulusan siswa. Dan sebagai acuan kelulusan siswa, kita menggunakan PAN (prestasi dan kerja-keras siswa sehari-hari) sebagai acuan sebagai penilaian proses.

Penulis berpendapat bahwa acuan penilaian yang ketiga lebih sesuai dengan kondisi real pendidikan Indonesia saat ini dan sinkron dengan otonomi pendidikan yang telah digulirkan. Terutama selaras dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1. Dan dengan bersandar pada acuan ini, tujuan evaluasi akan mudah dicapai. Setali tiga uang. Pemerintah akan dengan mudah melakukan penilaian kualitas pendidikan tanah air dengan mengadakan UN. Pengajar serta lembaga pendidikan memiliki peranan yang proporsional dalam menentukan kelulusan siswa.

Disamping hal tersebut di atas, ada sebuah catatan akhir bagi pemerintah yang hendak melakukan standarisasi pendidikan nasional, hendaknya lebih intens memperhatikan kualitas tenaga pengajar, bahan ajar dan sarana pembelajaran di seluruh pelosok negeri supaya tercapai kualitas pendidikan yang tinggi dan mampu bersaing dengan negara lain.

Sumber: http://lenterapena.wordpress.com/category/artikel-pendidikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar