Minggu, 12 April 2009

Mengkritisi RUU Sisdiknas

Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).

Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.

Pendidikan Dasar
Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.

Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.

Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.

Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.

Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).

Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.

Peguruan Swassta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).

Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.

Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.

Sumber:http://re-searchengines.com/kigunawan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar