Senin, 27 April 2009

Muslim di Tengah Percaturan Global

Herakleitos mencandra bahwa kenyataan itu bersifat pantharei, mengalir dan berubah. Ungkapan klasik tersebut semakin terbukti saat ini, dengan banyaknya perubahan di sekitar kita. Bahkan untuk beberapa negara berkembang isu perubahan menjadi tema yang sengaja dipopulerkan, karena hal tersebut dipahami sebagai suatu usaha untuk meninggalkan keterbelakangan.

Dari sini, kemudian dapat pula dipahami, bahwa perubahan itu sesungguhnya tidak akan pernah mencapai satu titik jenuh. Sebab dari segi proses perubahan menganut logika ongoing process dan ongoing formulation, dan dari segi motivasi, perubahan memuat sasaran-sasaran yang ingin dicapai secara pasti dan harus senantiasa dalam situasi yang berkelanjutan.

Seiring dengan logika di atas, maka dengan sendirinya pula akan memunculkan keinginan untuk melakukan penyempurnaan pada piranti yang telah dimiliki dalam merencanakan, membangun, mengarahkan, dan memanfaatkan perubahan. Meski begitu, tentu harus dengan tetap memperhitungkan berbagai persoalan yang dapat muncul di dalamnya atau berkaitan dengan perubahan yang dilakukan.

Pelbagai persoalan nampak semakin menggejala dan muncul di permukaan, dan memerlukan pemecahan segera[1]. Sementara itu di lain sisi, manusia masih dilibatkan dengan persoalan yang menyangkut keberadaannya secara ontologis, epistemologis dan keharusan aksiologis.

Mencandra wajah dunia di masa datang, tampak bukan hanya menampakkan sisi manis saja, tetapi juga potret buramnya. Pada keadaan yang demikian manusia memerlukan satu pegangan spiritual yang dapat melegakannya. Pelbagai upaya ditempuh manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, dan tidak semua upaya membuahkan hasil yang dapat dinikmati secara komunal dan melegakan.

Berdasar teori fungsional, Thomas F. O'Dea (1994) menempatkan agama sebagai jawaban atas pelbagai ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena hidup. Jika demikian, tentunya ajaran agama harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan empiris. Lebih dari itu, agama hendaknya menjadi sumber segala aktivitas kehidupan kemanusiaan, dan menjadi inspirasi dari seluruh ide serta menjadi landasan perbuatan dan sikap hidup manusia[2]. Lagi-lagi manusia dihadapkan pada beragam agama yang memiliki varian yang berbeda.

Pada sisi tersebut manusia harus secara jeli memilih satu agama yang bukan hanya berorientasi sisi keakhiratan, tetapi juga memiliki akses dalam kehidupan dunia. Artinya, agama tersebut bukan yang ekstrem terhadap satu sisi saja, tetapi yang memiliki keseimbangan antara dimensi keakhiratan serta tidak melupakan pembahasan atas persoalan kemanusian.

Untuk pemenuhan seluruh ide di atas, Islam menempati pada posisi pertama[3]. Artinya, dari seluruh agama-agama yang hadir di muka bumi Islam menjadi agama yang memiliki persyaratan yang dibutuhkan bagi pemenuhan kriteria yang diajukan manusia.

Keberadaan Manusia dan Misi serta Fitrahnya

Tidak ada salahnya bagi kita untuk mencoba mempertanyakan secara ontologis sisi keberadaan manusia. Sebab hal ini akan membawa kesadaran bahwa pada awal kehadirannya manusia diciptakan dengan bertujuan. Meski pada awal kehadirannya manusia tidak sendiri dan terpecah dalam etnis, budaya serta agama yang berbeda, namun hal ini bertujuan agar saling mengenal (lita'ruf), saling memberi dan menerima, berbagi kasih dan persaudaraan kepada siapa saja.

Seperti diuraikan secara sempurna dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13, bahwa Allah SWT menyerukan, ‘..Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu sekalian bergolongan-golongan dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal (satu sama lainnya). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian...’ Firman Allah SWT ini lebih tampak mengedepankan sisi kualitas kemanusiaan dibanding etnik, ras golongan, pangkat atau status sosial. Dan semuanya hanya dibedakan pada sejauhmana amal dan taqwa yang ditunjukkan seseorang atas perintah dan larangan yang dibebankan kepadanya.

Penggambaran ini sesuai seperti yang diungkap dalam Qur'an bahwa barangsiapa beramal kebajikan sebesar dzarah pun akan melihat atau merasakan hasil upayanya. Fakta tersebut menjelaskan bahwa hanya amal saleh (ketaqwaan) saja menjadi perhitungan dan sekaligus yang membedakan seseorang dengan manusia lainnya. Dari penegasan ini muncul pertanyaan, mengapa kita harus melakukan hal di atas? Bukankah orang hidup dengan urusan rumah tangganya masing-masing ?

Al-Quran menegaskan manusia adalah umat yang tunggal (Q.S. 1: 213 dan Q.S 10: 19). Artinya, pada awal kejadiannya manusia diciptakan sebagai komunitas yang satu, sebagai makhluk bumi. Namun, pemahaman manusia atas fenomena tersebut belum dapat dikatakan menggembirakan. Realita yang kita dapatkan dalam setiap bagian sejarah peradaban manusia adalah munculnya keinginan untuk menguasai atas sesamanya, baik eksploitasi etnis maupun agama. Kecenderungannya bahkan untuk berlaku sebagai musuh antar satu dengan yang lainnya, dan hanya sedikit saja yang diperjelas sebagai sahabat dalam sisi kemanusiaan.

Bagi Islam, untuk aspek kerjasama antara agama sesungguhnya bukan lagi suatu yang masih dihitung kemungkinannya, tetapi hal tersebut secara kuat justru ditempatkan sebagai suatu keharusan. Islam mengakui keberagaman dan menghormati segala macam bentuk keyakinaan keyakinan. Ini tercermin dalam pernyataan Allah Swt. dalam Al-Qur'an, bahkan Islam tidak pernah memaksakan manusia untuk masuk dalam komunitasnya (Q.S. 1: 256).

Persoalan yang muncul adalah tangkapan atas umat tentang spirit keberagaman yang dimunculkan Al-Qur'an tidaklah sama. Lagi-lagi sitiran Al-Qur'an harus dikedepankan, meski manusia dahulunya hanyalah satu umat tetapi kemudian mereka berselisih (Q.S. 10: 19). Perselisihan yang muncul sebenarnya lebih disebabkan oleh arogansi yang dimiliki manusia tentang kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.

Pada akhirnya arogansi tersebut lebih mengedepankan sisi anti kerukunan dibanding bersaing secara kompetitif demi satu kebajikan (fastabiqu al-khairat). Namun jika hal tersebut selalu dikedepankan, maka yang terjadi adalah ketidaknyamanan hidup dunia, dan rusaknya peradaban manusia, serta hancur pula sistem silaturrahmi, ukhuwah, atas bentuk solidaritas dalam konteks kemanusiaan secara universal.

Fenomena ini setidaknya, harus menjadi pengkajian lanjut bagi segenap anak bangsa, terutama dalam merumuskan kembali model solidaritas (ukhuwah) yang lebih sejalan dengan kondisi masyarakat yang telah berubah. Namun harus dipahami, bahwa ajaran agama (Islam) tentang hal tersebut masih relevan untuk diwujudkan dalam wajah baru, sehingga format agamis tidak tersingkirkan sebagai sistem norma dalam kehidupan masyarakat moderen yang sedang kita jalani kini.

Peran Umat Islam bagi Diri dan Lingkungannya

Dalam suatu seminar dan dialog antar agama di Yogyakarta tanggal 10 Agustus 1993, Abdurrahman Wahid mengungkap bahwa kerukunan agama di Indonesia masih bersifat artifisial. Tampaknya Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, menengarai adanya kesemuan dalam acara-acara dialog antar beragama. Ini tercermin dari model dialog yang terjadi selama ini, yang masih selalu mengedepankan sisi keunggulan masing-masing agama.

Sitiran Gus Dur sebenarnya bukan hanya terjadi pada level antar agama saja, tetapi pada level intern umat beragama dan ini masih menjadi fenomena yang sangat nyata. Seharusnyalah hal tersebut dapat diselesaikan dengan penuh kearifan, dan generasi muda kampus yang dihitung sangat potensial ini, kiranya dapat mendukung secara nyata dalam mencari titik temu di antara masing-masing agama, meminjam istilah yang dipakai Cak Nur, menuju kalimatun sawwa.

Untuk sampai pada dataran tersebut memang bukan satu pekerjaan mudah. Mengingat tingkat pengetahuan keberagaman yang dimiliki anak bangsa ini belum pada titik yang sederajat, apalagi untuk menuju pada kesetaraan tertentu sebagaimana yang diidealkan. Hal ini krusial memang, tapi bagaimanapun juga semuanya adalah tanggungjawab kita sebagai bangsa beragama dan berketuhanan.

Untuk mewujudkan konsep tri kerukunan beragama seperti yang diajukan negara --negara artinya pemerintah, masyarakat, dan individu-individu-- memerlukan perjalanan waktu yang panjang dan sampai menghadirkan manusia yang sadar nilai. Sekalipun semangat bersatu telah ada sejak pra dan setelah era kemerdekaan, untuk kurun waktu era global dewasa ini, haruslah terumuskan secara lebih jelas dan konsisten. Di sinilah peran para cendekiawan muda dituntut untuk dapat tampil lebih dominan, di samping kelompok cendekiawan agama dan kalangan birokrat itu sendiri.

Sebagai bagian dari umat dunia, pemuda muslim Indonesia memiliki keharusan untuk melakukan proses enlighting (pencerahan) atas diri dan lingkungannya. Maksudnya, setiap pemuda muslim harus dengan ikhlas hati menerima masukan ilmu pengetahuan dan informasi yang tentunya bernilai kebajikan.

Selain itu, dalam proses tersebut juga harus melakukan penyadaran diri (self consciousness) bahwa dirinya merupakan bagian dari umat yang satu, bukan kelompok-kelompok tertentu, sebagai paradigma persatuan yang harus diwujudkan dan dipertahankan. Tentunya setiap pemuda muslim harus mampu menerima perbedaan pendapat dari sekelilingnya dan bersikap terbuka untuk melakukan pembenaran atas kasus atau pendapat yang bersifat universal.

Di sisi ini klaim bahwa dirinya yang terbaik bukanlah suatu yang harus selalu dikedepankan dengan cara memposisikan kelompok lain sebagai yang salah. Persoalan pembenaran secara hak, yang terindah adalah dengan menyerahkan pada sang Khalik. Kebenaran bagi manusia adalah usahanya mendekati sang Khalik, bukan mengklaim bahwa sang Khalik miliknya, orang lain tidak punya hak atasNya.

Tugas lainnya adalah, mencoba membiaskan kesadaran tersebut kepada masyarakat sekelilingnya[4]. Lagi-lagi jangan dilakukan dengan proses intimidasi, pemaksaan, ataupun janji pemberian hadiah sebagai pencipta simpati. Cukuplah hadiah tersebut berasal dari Allah berupa kedamaian di dunia dan kedamaian di akhirat.

Selain itu bahasa yang harus dipakai adalah bahasa kemanusiaan, yang dimengerti oleh hati manusia dan dengan kata-kata yang lembut (bil hikmah). Andaikata ada perselisihan (terutama paham), hendaklah diselesaikan dengan bijaksana. Dan bila ternyata tidak mencapai titik temu sebagaimana yang diharapkan, maka perbedaan tersebut dipandang sebagai satu wisdom yang dimiliki oleh orang lain.

Dalam perjalanan sejarah nabi Musa as telah dibuktikan, bahwa ada kebenaran lain selain yang dimilikinya, dan itu kebenaran Khidir as yang datang dari Allah (Idrus, 1997). Jika berani memposisikan diri seperti di atas, maka persoalan global dan variasi pluralitasnya tidak akan mencederai sejarah peradaban manusia masa berikutnya.

Menjadikan agama sebagai etika universal bukan berarti melecehkannya, tapi justru memposisikannya sebagai pelindung dan rahmat bagi seluruh alam. Berupaya menjadikan bahasa agama sebagai bahasa kemanusiaan, bukan berarti berpaling dari agama, tetapi sebagai upaya manusia untuk memahami kaidah Tuhan dalam bingkai kemanusiaan dan bimbingan Ilahi.

Akhirnya, sebagai salah satu upaya kita sebagai masyarakat kampus dalam menunjukkan partisipasinya untuk mewujudkan persatuan baik interen maupun antar umat beragama, maka kita harus terlebih dahulu mengisi ketauhidan diri menjadikan moralitas kampus sebagai barometer akhlak keumatan. Ini akan mengisi etos hidup masyarakat muslim terhadap Tuhannya, sesama manusia dan dengan alam ciptakan Tuhan tempat makhluq menumpang hidupnya.

Kiranya disinilah arti penting seorang pemuda intelektual muslim menempatkan dirinya sebagai manusia yang shalih secara pribadi dan shalih pula secara sosial, terutama dalam menciptakan enlighting bagi perwujudkan peran pemuda muslim dalam era percaturan global. Sisi ini berhubungan dengan kemampuannya mengaca diri dengan nilai ketuhanan, menciptakan kehidupan bersama yang rukun, dan tetap dalam norma-norma yang konstruktif, sekalipun berada dalam tantangan norma yang lahir dari berbagai perubahan yang diciptakan manusia sendiri. ©M.Idrus2003Mei

Bacaan

O’Dea, T. F., (1994). Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Terjemahan Tim Yosogama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Idrus, M. (1997). Ukhuwah Islamiyah: Sebuah Peradaban Baru? Mukaddimah No. 4 Th.III/1997. P120-127. Yogyakarta: Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY



[1] Dengan membanding kadarnya, maka persoalan Inul tidak perlu menjadi wacana yang menasional hingga mengalihkan perhatian umat terhadap persoalan lain yang justru memiliki implikasi jauh ke depan, sebut saja persoalan pendidikan agama, separatisme (GAM, misalnya) atau runtuhnya moral secara global.

[2] Agama saat ini hanya sekadar sains, yang hanya menjadi nuansa kognitif semata. Banyak para koruptor yang memahami mencuri itu tidak baik, namun tetap dilakukannya. Bagaimana mengamalkan nilai untuk tidak mencuri, rasanya sulit dilakukan sejauh agama diletakan pada posisi wacana yang hanya nikmat untuk didiskusikan, selebihnya nanti dulu!. Tentunya banyak lagi yang lain bukan hanya koruptor, yang saya yakini jika mereka melakukan perbutan melanggar aturan agama mereka tahu bahwa itu tidak dibolehkan/dilarang, namun tetap dilakukan. Sebab saat ini semboyan yang muncul adalah sebagaimana Frotz, ENAK GILA!

[3] Tidak bermaksud menjual kecap nomor 1, namun secara tegas Allah menyatakan dalam Al-Quran bahwa ada jaminan kesempurnaan Islam (QS. 5:3). Meski pasti ada klaim yang sama dari agama lain, itu hak setiap penganut agama.

[4] Layaknya sebuah segitiga prisma yang terkena sinar, dia tidak menikmati sinar itu untuk dirinya dan mengeluarkan warna satu miliknya, tapi dia membiaskan dan mengeluarkan banyak warna yang justru menjadikannya menarik

Sumber: http://www.msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=pendidikan&baca=artikel&id=214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar