Rabu, 29 April 2009

PENDIDIKAN DI INDONESIA, ANTARA PEMBEBASAN DAN KAPITALIS MATERIALIS

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berada ditengah proses transisi dan perubahan sosial serta budaya yang pesat, sebagai bentuk masyarakat yang mulai memasuki budaya modern dan kontemporer, hal ini membawa dampak banyaknya warga masyarakat yang semakin menjauhkan diri dari pranata sosial dan budaya asli sehingga masyarakat semakin memandang nilai etika dan moral tidak begitu mengikat dan tidak menjadi dasar kehidupan. Masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat terbuka dan menerima budaya global serta secara terbuka menerima unsur dan nilai budaya asing. Dunia pendidikan di Indonesia juga terkena imbas dari serangkaian dampak perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi. Proses globalisasi telah membuat perubahan yang besar dalam lapangan ekonomi dan politik, karena itu mau tidak mau juga akan menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Saat sekarang terjadi reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum maupun manajemen sesuai dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam proses globalisasi tersebut.


Pendidikan Mahal

Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Tampaknya pepatah ini mulai digunakan oleh beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia dalam menjalankan visi pendidikannya. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memasang tarif yang gila-gilaan, akibatnya sebagian besar orang tua dan anak anak lulusan SMA menjadi kelimpungan. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya. Ada sebuah fenomena menarik dikalangan PTN besar dan favorit di Indonesia yang terkesan “money oriented”, hanya bersifat materialistis belaka, yang hanya dengan sebuah argumentasi bahwa subsidi dari pemerintah/negara untuk PTN minim sekali dan tidak dapat memenuhi kebutuhan PTN. PTN ini telah membuat kebijakan pembayaran uang kuliah yang sulit dijangkau masyarakat umum, tanpa mau berpikir panjang mencari sumber sumber dana alternatif selain “memeras” mahasiswanya.

Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang mampu menyekolahkan anaknya Meski secara resmi pembukaan pasar bebas bidang pendidikan di Indonesia berlaku mulai tahun 2006 namun invasi pendidikan asing yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan sudah lama terasa. Liberalisasi pendidikan terutama pada perguruan tinggi yang dipromosikan oleh WTO (World Trade Organization) sebetulnya dibungkus dengan sesuatu yang positip yakni agar lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan di Indonesia namun realitas dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan cita cita awalnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor UGM mengemukakan bahwa angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2004 hanya 14%, jauh dibawah Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%. Memang sebuah angka partisipasi pendidikan yang masih dibawah standar. Dan dengan berbekal ini, pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal yang semakin menjauhkan masyarakat menengah ke bawah dengan keinginan untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang murah.


Pendidikan Tidak Terfokus

Pendidikan di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia tak ubahnya seperti industri, pendidik hanya bertindak sebagai pencetak produk masal yang seragam tanpa memikirkan dunia luar yang berubah menjadi lebih rumit. Cara pendidik mengajar juga cenderung mengarah pada pembentukan generasi muda yang dingin dan mengagungkan individualisme. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh. Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan kampus. Konflik antar mahasiswa atau pimpinan lembaga pendidikan tinggi telah terjadi di beberapa kampus, sehingga citra lembaga pendidikan tinggi agak mengalami kemunduran. Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka.

Ilmu pengetahuan menolak adanya sifat tertutup. Apa yang dianggap benar harus dapat dibuktikan (diverifikasi) secara terbuka di depan publik. Jika kita mengatakan bahwa air yang dipanaskan sampai 100 derajat celcius akan mendidih, maka dipersilakan semua orang untuk membuktikan fenomena tersebut. Karena itu kalangan akademisi harus memiliki sifat keterbukaan tersebut, kita harus dapat mengembangkan pengetahuan baru seperti konsep dan teori baru secara terbuka dan bukan untuk disembunyikan seperti dalam budaya konservatif. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Socrates sangat percaya bahwa akal manusia dapat menjadi sumber kebenaran. Maksud dari perlawanan ini bahwa ilmu pengetahuan mengembangkan watak rasionalitas dalam menjalankan proses pendidikan. Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga dihinggapi oleh masalah masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk kesadaran masyarakat tersendiri bahwa tugas guru hanya mencerdaskan bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan belum menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana belajar, selama ini pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan perubahan kurikulum saja dan masih minim melakukan perbaikan sarana dan prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung sekolah yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN. Memang sebuah angka yang masih jauh dari kata cukup.


Pendidikan Yang Membebaskan

Meminjam pendapat seorang tokoh terkenal di bidang pendidikan dari negara Brazil yakni Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa “tujuan pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu, juga bukan kepada agama ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis, melainkan pendidikan harus ditujukan untuk pembebasan yakni agar orang mampu secara beradab menentukan pilihannya”. Friere terkenal dengan terobosannya membuat sistem pendidikan alternatif dengan mengedepankan proses dialogis dan proses penyadaran pada masing masing individu didalamnya (peserta didik). Friere menekankan kepada kita untuk mendasarkan pada kesadaran dalam melakukan segala sesuatu tanpa ada suatu tekanan maupun paksaan/penindasan dari luar diri.
Ketika kita mulai memberi kepercayaan akan akal manusia, maka kita mulai mengakui adanya suatu kesadaran (the conciousness) dalam diri manusia. Pikiran manusia dapat membuat kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Dari kesadaran itu kemudian muncul pemahaman tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan untuk memberikan pengertian terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan berpikir yang disertai dengan rasio.

Kondisi pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara demokratis.
Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Pemerintah dan lembaga politik lainnya harus memiliki komitmen untuk terus berupaya meningkatkan anggaran bagi dunia pendidikan di Indonesia sehingga angka 20% dapat segera terealisasikan. Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia.

Sumber: http://www.kmhdi.org/v2/index.php?app=artikel&page=read&id=23

Potret Buram Pendidikan Nonformal di Jabar

Selama tahun 1999-2003 terjadi perubahan-perubahan penting di sektor pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah. Perubahan penting yang bisa dicatat di sini antara lain adalah pencanangan apa yang disebut sebagai broad based education (pendidikan berorientasi keterampilan hidup-life skills).1

Gagasan broad based education kemudian diterjemahkan dalam beberapa bentuk, antara lain pengembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di seluruh desa di Indonesia,2 memberi kesempatan lebih luas kepada kalangan LSM untuk terlibat dalam pendidikan nonformal, dan memangkas jaringan birokrasi pendanaan pendidikan nonformal.

Khusus berkaitan dengan pendanaan, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) mendistribusikan dana subsidi BBM dengan skim block grant untuk setiap prakarsa pendidikan nonformal di daerah-daerah. Pada tahun 2002, telah dikucurkan dana sebesar 50 milyar untuk itu. 3

Perubahan tersebut mengesankan ada keinginan kuat dari pemerintah untuk memberikan jaminan lebih besar kepada masyarakat utamanya mereka yang berada di perdesaan dan tidak memperoleh akses pendidikan formal untuk menikmati hak-hak kependidikannya, dan mendorong masyarakat untuk mengambil prakarsa lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal.

Bagaimana perubahan tersebut dijalankan di lapangan? Apakah perubahan tersebut cukup bermakna bagi perbaikan kualitas pendidikan nonformal di lapangan?

Tentu diperlukan studi yang lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat itu. Tulisan ringkas ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan berat itu. Ini adalah semacam studi pendahuluan untuk memetakan dan mengidentifikasi gejala-gejala apa saja yang mengemuka dalam praktek pendidikan nonformal via PKBM. PKBM dipilih sebagai obyek studi karena PKBM ini dianggap sebagai anak emas dan primadonanya PLS/PNF.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen: menganalisis profil PKBM yang terdapat dalam Dokumen Data dan Informasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Propinsi Jawa Barat yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat, Ditjen PLSP, Depdiknas RI tahun 2001. Jumlah keseluruhan PKBM yang ditelaah adalah 69, tersebar di 19 Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

Tinjauan Singkat Pustaka Pendidikan Nonformal

Sekilas Pendidikan Nonformal

Ada 3 istilah yang sering digunakan untuk membedakan jenis pendidikan: pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.4

Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang kita kenal dengan pendidikan persekolahan. Pendidikan informal menunjuk kepada aktivitas pendidikan dalam keluarga, lingkungan pekerjaan, media massa dan lain-lain. Pendidikan nonformal adalah aktivitas pendidikan di luar pendidikan formal, dilakukan secara mandiri, terorganisir, dan sistematis, untuk melayani peserta didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan formal dan pendidikan nonformal sering dihadapkan secara berlawanan.

Yang bisa dicatat dari definisi pendidikan nonformal sebagaimana disebut di atas adalah: Pertama, pendidikan nonformal bisa berlangsung di mana saja, dan bisa diprakarsai oleh siapa saja. Tidak harus pemerintah tetapi juga masyarakat bisa memprakarsainya.

Kedua, warga belajar atau peserta didik dalam pendidikan nonformal adalah tertentu. Siapa yang masuk dalam kategori “tertentu” itu? Tentu bisa siapa saja. Deklarasi Dakkar tentang Pendidikan untuk Semua misalnya menyebut warga belajar tertentu itu adalah “early childhood, especially for the most vulnerable and disadvantage children; children, particularly girls, children in difficult circumtances and those belonging to ethnic groups”5 Sebuah jaringan pendidikan nonformal menambahkan warga belajar tertentu itu adalah “anak jalanan serta anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, perempuan dan perempuan perdesaan atau perempuan petani, anak-anak dini usia yang tinggal di perdesaan, serta warga masyarakat miskin di perkotaan.6 Intinya adalah warga masyarakat yang cenderung tidak memperoleh akses memadai terhadap layanan pendidikan formal utamanya karena kemiskinan dan ketidakberdayaannya.

Ketiga, karena warga belajarnya adalah “tertentu”, maka kebutuhan belajarnya juga “tertentu”, barangkali berbeda, lebih spesifik atau malahan juga lebih luas dari pendidikan formal. Kebutuhan belajar petani perempuan di suatu desa berbeda dengan kebutuhan petani perempuan di desa yang lain. Demikian pula kebutuhan belajar anak-anak di suku terasing akan berbeda dengan kebutuhan anak-anak di komunitas nelayan misalnya. Semua kebutuhan harus mendapat tempat dalam pendidikan nonformal.

Keempat, karena warga belajar dan kebutuhannya bersifat “tertentu” maka tujuan belajarnya pasti juga tertentu. Apakah yang tertentu itu? Semuanya terserah keinginan warga belajar. Tetapi mungkin tujuan belajar petani tidak akan beranjak terlalu jauh dari misalnya mengatahui mengapa harga pupuk naik, ingin bertambah penghasilannya, mengetahui cara memberantas hama padi, ingin tahu cara memupuk dengan benar, ingin menambah produktivitas lahan pertaniannya, dan seterusnya.

Dari penjelasan diatas dapat dicatat bahwa pendidikan nonformal sesungguhnya bersifat hadap masalah, berbasis kebutuhan warga belajar, kontekstual, dan bertumpu kepada potensi lokal. Sifat-sifat yang demikian inilah yang mengantarkan orang kepada pandangan bahwa sesungguhnya pendidikan nonformal berada dalam tradisi pendidikan Freirian. Pendidikan nonformal muncul sebagai bentuk perlawanan dan dekontruksi terhadap kegagalan pendidikan formal .

Kelima, proses pembelajaran untuk karakteristik warga belajar dengan kebutuhan dan tujuan belajar yang serba tertentu itu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan konvensional-klasikal. Diperlukan metode-metode belajar yang lebih dialogis-partisipatif . Hanya dengan metode semacam ini tujuan dan kebutuhan belajar itu bisa lebih banyak tertampung.

Pendidikan Nonformal di Indonesia

Sejarah pendidikan di Indonesia memperlihatkan bahwa jauh sebelum pendidikan formal dikenal dan dikembangkan, masyarakat telah memprakarsai dan mengembangkan praktek-praktek pendidikan yang unik dan asli. Dalam bentuk-bentuk yang “sederhana” dan “tradisional”, di berbagai suku, dan komunitas ditemukan beragam praktek pendidikan berbasis kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi mereka masing-masing. Emil Salim7 misalnya menyebut salah satu praktek bagaimana komunitas nelayan tradisional Bugis sudah memiliki metode-metode pendidikan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara menangkap ikan dan mengetahui datangnya badai kepada anak-anak mereka. Begitupula masyarakat Badui telah memiliki norma, dan tatacara pendidikan untuk mewariskan pengetahuan pengobatan tradisional. Atau beberapa suku di pedalaman Sumatera mengembangkan praktek-praktek pendidikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan.

Praktek-praktek tersebut dijalankan sebagai metode bertahan hidup di tengah-tengah ruang dan lingkungan hidup komunitas mereka yang cepat berubah. Karena itu karakteristik utama yang melekat pada praktek pendidikan ini adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan tantangan hidup yang mereka hadapi, melekat kuat dengan kebutuhan kongkret, serta berorientasi kepada pemecahan masalah hidup keseharian mereka.

Kemudian jaman berubah. Pemerintah hadir, tampil secara hegemonik dan intervensionis dengan membawa aneka kebijakan baru yang harus dilakukan oleh warganya. Salah satu kebijakan tersebut adalah bahwa kehidupan kemasyarakatan harus lebih modern, lebih maju, dan pendidikan harus menjadi aktor utama dalam proses ini.

Dengan argumentasi ini pemerintah kemudian mengambil alih prakarsa-prakarsa pendidikan masyarakat dan menggantikannya dengan praktek-praktek pendidikan formal yang sepenuhnya berada dibawah kontrolnya. Pendidikan “tradisional” dianggap tidak bisa lagi memadai untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan modernisasi. Gedung-gedung sekolah formal, waktu itu lazim disebut “gedung SD Inpres” dibangun di mana-mana, kurikulum pendidikan dinasionalisasi, diseragamkan, dan tujuan pendidikan diorientasikan sepenuhnya kepada penguasaan keterampilan ekonomis-produktif8 agar peserta didik bisa siap kerja di sektor-sektor industri yang memang sedang tumbuh pesat waktu itu. Masyarakat digiring untuk memasuki sekolah-sekolah formal atas nama program pemberantasan buta huruf.

Perubahan ini membawa konsekuensi yang sangat besar dalam kultur pendidikan masyarakat. Bersekolah di sekolah formal, dan memperoleh ijazah lantas dianggap sebagai satu-satunya tiket untuk bisa hidup di lingkungan yang serba modern, dan serba nasional. Anak-anak petani lari dari desa, bersekolah, mencari kerja ke kota-kota besar, dan meninggalkan sawah ladang milik moyang mereka. Tinggal di desa dan mempelajari lingkungan melalui metode-metode pendidikan berbasis komunitas yang tersedia melimpah di lingkungan asal mereka dipandang sebagai bukan sesuatu yang menarik. Pada gilirannya, meskipun praktek-praktek pendidikan berbasis masyarakat tersebut masih berlangsung, intensitasnya memudar, tergantikan oleh sekolah-sekolah formal.

Ternyata, cita-cita pemerintah untuk memberantas buta huruf dan mewujudkan masyarakat yang cerdas dengan cara menyediakan berbagai fasilitas dan program pendidikan formal ternyata tidak cukup dan tidak sepenuhnya tercapai. Rendahnya akses pendidikan untuk masyarakat perdesaan, perempuan dan anak-anak perempuan, disparitas gender, terus menurunnya kualitas pendidikan adalah beberapa masalah pendidikan yang masih belum juga terpecahkan. 9

Atas dasar itulah, sebagaimana sudah disebut di awal tulisan ini, pemerintah mau bertobat dengan melakukan sejumlah perubahan di sektor pendidikan nonformal itu.

Beberapa Temuan dan Analisis

1. Booming PKBM

Studi ini menemukan 60,24% berdiri pada tahun 1999-2001. Apakah ini suatu kebetulan? Tampaknya tidak. Tahun 1999-2001 adalah kurun waktu dimana gagasan dan kebijakan tentang broad based education mulai disosialisasikan oleh Depdiknas. Pada tahun-tahun ini juga Depdiknas mensosialisasikan adanya bantuan block grant bagi lembaga-lembaga pendidikan nonformal utamanya PKBM.

Jadi motivasi pendirian PKBM patut diduga kuat bukan didasari oleh pertimbangan kebutuhan atau kesadaran para pemrakarsanya akan perluasan hak-hak pendidikan masyarakat. Melainkan lebih sebagai respon untuk bagaimana membuat wadah untuk menampung kucuran dana itu. Yang penting ada wadah dulu, bagaimana praktek pendidikan akan dijalankan itu soal yang lain lagi.

2. Rendahnya Kepemilikan Komunitas

PKBM didominasi oleh pegawai negeri. Orang-orang yang pekerjaan utamanya menjadi tenaga lapangan dikmas, penilik, dan guru mendominasi kepengurusan baik di tingkat ketua (53,68 %) maupun sekretaris (56,5 %) PKBM.

Yang juga menarik adalah ada sejumlah profesi rangkap. Guru yang notabene sudah mendapatkan gaji dari pekerjaan mengajarnya di sekolah formal ikut terlibat dalam kepengurusan PKBM (21,73 % pada posisi ketua, dan 27,53 pada posisi sekretaris).

Apa artinya? Artinya, menguatkan temuan pertama, pendirian PKBM patut diduga kuat diprakarsai oleh orang-orang yang mempunyai akses informasi cukup besar terhadap kebijakan-kebijakan baru pendidikan, termasuk didalamnya tatacara mengakses block grant dan semacam itu. Atau sekurang-kurangnya informasi tentang hal ini lebih banyak tersebar di lingkaran terbatas, yaitu “orang-orang dalam” Depdiknas.

Gejala ini diperkuat dengan siapa yang mengelola atau bentuk organisasi PKBM. Sebanyak 56,5 % PKBM dikelola oleh Yayasan -yang notabene bentuk organisasi yang kepemilikannya berada di tangan segelintir orang. Di luar itu juga menunjukkan sebagian besar PKBM masih berbasis kelembagaan, belum berbasis masyarakat.10

3. Rendahnya Relevansi program dengan Kebutuhan masyarakat

Program-program PKBM umumnya adalah “program-program paket” yang sudah distandardisasi, seperti Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B, Paket C, Beasiswa, Kejar Usaha dan lain-lain serupa itu. Program-program ini memang program yang disarankan untuk dilakukan oleh PKBM jika ingin mengakses dana subsidi BBM.

Cukup banyak juga materi-materi belajar tentang keterampilan. Tetapi hampir semuanya jenis-jenis keterampilan yang berorientasi teknis-produktif. Dan, semua program, baik paket maupun keterampilan tersebut jauh sekali hubungannya dengan potensi desa/daerah yang 76,8 % merupakan desa/daerah pertanian.

Catatan Penutup

Hasil dan temuan studi pendahuluan ini tentu saja tidak mampu menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek di lapangan. Diperlukan studi-studi lanjutan misalnya tentang metode-metode pembelajaran yang digunakan, bagaimana caranya penjajakan kebutuhan dilakukan, dan hal-hal lain serupa itu.

Studi pendahuluan ini juga sebenarnya masih kurang lengkap. Misalnya diperlukan analisis perbandingan terhadap data-data tentang bagaimana daya serap sekolah formal atau angka partisipasi murni anak-anak usia sekolah SD, SMP, atau SMA di desa-desa dimana PKBM berdiri.

Tetapi temuan-temuan ini paling tidak bisa mengidentifikasi sejumlah gejala-gejala bahwa praktek pendidikan nonformal via PKBM masih belum beranjak terlalu jauh dari periode-periode sebelum ini. Pendidikan nonformal melalui PKBM masih kental sifat mobilisasi tinimbang partisipasinya.


Sumber: http://dwijoko.wordpress.com/2008/07/07/potret-buram-pendidikan-nonformal-di-jabar/


Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.

"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).

Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.

Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.


Sumber: http://nasional.infogue.com/nasional_akreditasi_pendidikan_nonformal_tidak_untuk_mematikan

SKB PUSAT PENDIDIKAN NON FORMAL

Mutu pendidikan di Kabupaten Enrekang bukan hanya bertumpu pada pendidikan formal saja, tapi pendidikan non formal menjadi salah satu program penting untuk mendukung terciptanya kualitas mutu pendidikan di Bumi Massenrempulu.Untuk merealisasikannya, maka Dinas Pendidikan Nasional ditunjuk sebagai ujung tombak pelaksanaan. Untuk lebih memudahkan pengerjaannya, Dinas Diknas kemudian bekerjasama dengan kantor sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Pendidikan formal ditangani langsung Dinas Diknas, sementara pendidikan non formal dipercayakan kepada kantor SKB.

Selama ini, keberadaan Kantor SKB memang belum dipahami. Padahal, SKB memiliki funhsi untuk membina peningkatan kualitas pendidikan non formal di setiap kabupaten/kota. Kantor SKB sendiri masih dibawa naungan Dinas Diknas. Khusus di kabupaten Enrekang, kantor SKB telah memberikan kontribusi besar dalam menunjang pendidikan non formal. Berbagai pelatihan dilaksanakan kepada masyarakat yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah.


Pelatihan-pelatihan itu kemudian disusun dalam suatu program, antara lain pendidikan kesetaraan bagi Pendidikan dasar (Dikdas) 9 tahun, penurunan angka buta aksara, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta kursus dan pelatihan. Program-program itu semuanya telah dianggarkan melalui Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Direktorat PTK-PNF.

Alhasil, program ini sudah banyak mencetak SDM-SDM yang berkualitas.
Sebagai pusat pendidikan non formal, tentunya kantor SKB telah dilengkapi fasilitas-fasilitas, seperti jaringan internet. Pengadaan internet di kantor SKB telah membantu pelaksanaan pendidikan non formal. “Saat ini, segala perkembangan tentang pendidikan luar sekolah sudah bisa diakses melalui internet,” jelas Kepala SKB, Drs. Abd. Jalil.

Seputar Kantor SKB Kabupaten Enrekang:
1. Pusat pendidikan non formal di Bumi Massenrempulu
2. SKB adalah solusi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) di Kabupaten Enrekang
3. SKB dapat berperan alternatif utama untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki
4. Misi SKB Kabupaten Enrekang untuk meningkatkan tenaga teknis dan tenaga kependidikan luar
sekolah, meningkatkan pelayanan informasi kegiatan pendidikan luar sekolah dan
mengembangkan media belajar
5. SKB Kabupaten Enrekang berada pada tingkatan terdekat dengan masyarakat sejak persiapan,
pelaksanaan, evaluasi dan memberikan pengawasan kemajuan secara ketat
6. Kantor SKB kabupaten Enrekang mengutamakan pemerataan dan perluasan akses yang
dikembangkan, melalui respon dari kebutuhan mendesak warga masyarakat, sehingga program
kerjanya mengarah pada kebutuhan warga, termasuk menggunakan pendekatan partisipatif,
tanpa melepaskan tanggung jawab
7. Kantor SKB kabupaten Enrekang telah dilengkapi jaringan internet. Kemajuan teknologi cukup
membawa dampak bagi keberhasilan pendidikan non formal. Sistem informasi berbasis
teknologi komputer perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) berdampak
positif, terutama memudahkan untuk mengakses dan menyebarluaskan informasi


Sumber: http://www.enrekangkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=160&Itemid=36

OPTIMALISASI SUMBERDAYA DOSEN

Beberapa perguruan tinggi negeri Indonesia (UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UNDIP) masuk dalam daftar 500 perguruan tinggi kelas dunia. Tahun ini tiga diantaranya yang berkelas 200an dan 300an yakni UI, ITB dan UGM. Mengapa cuma segelintir perguruan tinggi saja? Apakah ini terkait dengan mutu SDM para dosennya yang kurang berprestasi? Mari disimak apakah setiap perguruan tinggi di Indonesia sudah memiliki model perencanaan pengembangan sumberdaya dosen yang handal? Apakah terdapat unsur pertimbangan ke depan berapa jumlah dosen dengan kualifikasi tertentu dibutuhkan? Termasuk berapa jumlah guru besar ideal yang dibutuhkan untuk menjadikan suatu perguruan tinggi berbasis riset skala internasional? Apakah kebutuhan itu dikaitkan dengan visi dan misi perguruan tingginya? Apakah juga dikaitkan dengan tuntutan pembangunan khususnya pengembangan ipteks nasional dan global? Apakah ada jabaran road map pengembangan dosen sesuai kebutuhan keilmuan, kurikulum, dan kebutuhan penelitian iptek dalam jangka menengah dan panjang? Apa dan bagaimana upaya pengembangan yang dilakukan?

Tentang itu, saya pernah bertanya pada teman sejawat dari beberapa perguruan tinggi khususnya dari perguruan tinggi terkemuka nasional. Secara serempak jawabannya sama. Tidak ada itu yang namanya perencanaan strategis pengembangan dosen. Lho jadi bentuk pengembangannya seperti apa? Ada tetapi hanya dalam bentuk pernyataan umum saja. ”Seperti perlu peningkatan pengembangan sumberdaya manusia baik dalam hal jumlah maupun mutu kualifikasi dosen”. Tetapi tidak dijabarkan lebih lanjut secara operasional. Mengapa? Karena memang perguruan tinggi tidak punya dana. Juga Depdiknas tidak punya dana cukup khususnya untuk studi lanjutan di luar negeri. Paling-paling hanya menyediakan informasi mana saja perguruan tinggi luar negeri yang menyediakan beasiswa. Itupun penuh ketidakpastian dan sifatnya lebih kompetitif.

Yang saya ketahui ada sekurang-kurangnya tiga bentuk pengembangan mutu dosen yang polanya tidak jelas. Pertama, ketua jurusan khususnya kepala laboratorium/bagian dan seseorang guru besar memiliki akses jejaring kerjasama internasional dengan berbagai donor dan perguruan tinggi luar negeri. Kemudian dengan aktif mempersilakan siapa saja para yuniornya untuk melamar. Sementara sang ketua jurusan atau kepala bagian itu merekomendasikannya. Siapa dosen yunior yang semakin aktif semakin besar peluang pula untuk melanjutkan studi lanjutan. Intinya adalah ketua jurusan/kepala lab memberi stimuli aktif kepada siapapun dosen yunior asalkan potensial dan penuh minat untuk studi lanjutan.

Kedua, kepala laboratorium/bagian memberi kesempatan kepada yuniornya untuk studi lanjutan. Namun celakanya bersifat urut kacang. Semakin senior semakin diberi peluang ikut studi lanjutan. Sementara yang lebih yunior tetapi berpotensi tinggi dan berinisiatif sendiri mencari dana tetap harus bersabar mengantre. Berhasilkah model ini?. Tidak, bahkan berantakan. Terjadi diskriminasi perlakuan. Tidak fair. Lalu apa yang terjadi? Dosen yang sudah selesai studi master bahkan diminta pulang oleh sang kepala lab itu. Alasannya mengabdi dahulu baru studi lanjutan lagi. Tetapi di sisi lain ada beberapa yang senior ternyata sampai pensiun tidak studi lanjutan. Sementara ada beberapa yang yunior ”berontak” mencari sendiri dan tanpa berpegang pada himbauan sang kepala lab yang sangat konservatif. Lalu terus studi lanjutan. Dan berhasil.

Ketiga, model ’bebas tak terarah’. Kepala lab mempersilakan setiap dosen untuk studi lanjutan dengan cara apa saja. Tidak studi pun sepertinya tidak apa-apa. Sang kepala lab walau punya jejaring kelembagaan internasional hampir-hampir pasif tidak mendorong yuniornya untuk melamar apalagi memberi rekomendasi. Walau di situ terdapat beberapa guru besar namun langka perhatian kepada yuniornya. Akhirnya kembali yang aktif adalah para dosen yunior itu sendiri. Mereka berinisiatif sendiri, bisa diam-diam dan terbuka, mencari sponsor pendanaan studi lanjutan. Mereka tidak perduli apakah ketua jurusan atau kepala lab/bagian punya jejaring kelembagaan atau tidak. Atau apakah disetujui atau tidak. Dengan melamar dan mengikuti test tertentu lalu berhasil. Baru kemudian lapor ke ketua jurusan atau ke kepala lab/bagian.

Gambaran di atas semakin relevan lagi ketika muncul beberapa pertanyaan berikut. Dalam era global ini apakah perguruan tinggi nasional sudah siap berkompetisi dengan perguruan tinggi sekawasan asia tenggara apalagi di asia dan dunia? Dengan diratifikasinya perdagangan bebas termasuk dalam bidang jasa pendidikan apakah perguruan tinggi kita sudah siap dengan sejumlah dosen yang bermutu tinggi dan fasilitas pendidikan dan penelitian yang canggih? Sudah siapkah dikembangkan model pengembangan jaminan mutu pendidikan? Sudah siapkah perguruan tinggi memiliki perencanaan pengembangan sumberdaya dosen secara terprogram berkelanjutan? Sudah siapkah perguruan tinggi untuk meraih ISO 9000?

Data (2006) menunjukkan jumlah dosen berkualifikasi doktor di perguruan tinggi Indonesia hanya sekitar 15% saja. Dan kondisi ini begitu timpangnya antara perguruan tinggi Jawa dan Luar Jawa, dan antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Sementara di beberapa negara Asean seperti, Singapura, Malaysia dan Filipina jumlahnya mencapai lebih dari 60%. Di Indonesia seperti di ITB dan IPB jumlah dosen bergelar doktor mencapai sekitar 50% dari total dosen. Kalau semuanya serba belum siap khususnya dalam pengembangan sumberdaya dosen, bagaimana PT Indonesia mampu tampil tangguh?

Ya tetapi harus realistislah. Selama ini kesejahteraan dosen dilihat dari gaji mereka masih jauh dari harapan. Karena itu jangan aneh kalau di antara mereka ada yang menjadi dosen “berstatus” biasa di luar; ngobyek. Kalau begitu bagaimana mereka bisa berkonsentrasi penuh melaksanakan tugas utamanya sebagai pendidik, pengajar dan peneliti secara bermutu? Mudah-mudahan dengan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008-2009, beberapa komponen posnya dapat berupa program pengembangan SDM dosen, kesejahteraan, aktifitas penelitian multiyears dan pembuatan buku-buku ilmiah.


Sumber: http://indosdm.com/optimalisasi-sumberdaya-dosen

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.

Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.

Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.



Sumber: http://www.pusatartikel.com/article/pendidikan/komersialisasi-pendidikan-tinggi.html

Industri Pendidikan Tinggi

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.

Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.

Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Tiga motif

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Bahaya

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.


Sumber: http://www.dikti.depdiknas.go.id/?q=node/425

TIPS MEMILIH PERGURUAN TINGGI

"Mau nerusin ke mana setelah SMU ?" Mungkin itu yang ada di benak siswa-siswi yang udah kelas tiga SMU. Pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Karena saat ini sudah banyak sekali perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia. Nah, untuk memudahkan kamu yang akan lulus, simak tips berikut untuk memilih perguruan tinggi.

MINAT

Faktor utama yang harus diketahui adalah minat kamu sendiri. Kalo kamu sudah tahu minat kamu ingin melanjutkan ke program studi apa, akan semakin memudahkan kamu memilih perguruan tinggi dan yang lebih penting kamu akan mudah dan terpacu untuk menyelesaikan studimu.

BIAYA

Seringkali universitas yang kita inginkan tidak sesuai dengan keadaan keuangan orangtua kita. Kuliah di Perguruan Tinggi memang banyak komponen biayanya seperti misalnya uang pendaftaran, uang gedung, spp, uang praktikum, dan lain-lain. Yang lebih tidak bisa diperkirakan adalah biaya mendadak seperti fotokopi, beli buku, ataupun transportasi. Belum lagi jika kita harus kos karena tempat kuliah yang jauh dari rumah. Jadi, supaya amannya, pada saat kamu akan melakukan pendaftaran, tanyakan secara detail biaya apa saja yang harus kamu tanggung selama kuliah. Perhitungkan juga biaya lain-lain yang akan kamu tanggung saat menjadi mahasiswa. Diskusikan masalah tersebut bersama ortu agar ortu tidak kalang kabut mencari biaya setelah kamu kuliah di tempat tersebut.

PROSPEK

Saat ini banyak sekali program studi yang ditawarkan baik oleh PTN maupun PTS, tentu tidak semuanya menjanjikan prospek pekerjaan yang cerah di masa mendatang. Manakah yang akan kamu pilih, program studi yang selalu menjadi favorit, tapi pada akhirnya banyak lulusannya yang menganggur ataukah program studi yang tidak termasuk kategori favorit, tapi begitu lulus langsung dapat kerja (biasanya karena lulusannya yang langka sedangkan dunia kerja masih sangat terbuka)?? Kamu harus dapat memprediksi prospek bidang studi yang anda pilih dalam memasuki lapangan pekerjaan sesudah lulus nanti. Bertanyalah kepada orang tua, guru, teman, konsultan, atau siapapun. Jangan pertaruhkan masa depanmu.

REPUTASI

Apakah kamu memilih perguruan tinggi karena perguruan tinggi tersebut terkenal saja? Wah…itu salah. Ada beberapa faktor yang harus kamu pertimbangkan jika kamu ingin memilih perguruan tinggi tersebut, misalkan bagaimana fasilitas belajar-mengajarnya, kualitas lulusannya, dan bagaimana reputasi perguruan tinggi tersebut di kalangan pendidik.

STATUS AKREDITASI

Kalau tahun-tahun sebelumnya kamu kenal dengan status disamakan, diakui ataupun terdaftar, sekarang ini ada yang dinamakan dengan status akreditasi. Status inilah yang saat ini menjadi salah satu faktor utama yang digunakan oleh PTS untuk mengiklankan dirinya. Status ini diberikan untuk program studi yang diselenggaran dan bukan pada keseluruhan jurusan/program studi pada suatu perguruan tinggi. Status akreditasi ini menentukan kemandirian suatu program studi dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

JALUR DAN JENJANG PENDIDIKAN

Saat ini banyak sekali program pendidikan dengan berbagai jangka waktu tempuh pendidikan. Untuk itu kamu bisa memilih berapa lama akan menghabiskan waktu yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan kamu. Untuk Indonesia, kita memiliki 2 jenjang jalur pendidikan yaitu jalur akademik (strata 1, 2, 3) serta jalur profesional (diploma 1, 2, 3). Jalur akademik menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, sedangkan jalur profesional menekankan pada keahlian tertentu. Tapi ingat, kamu juga harus bisa membedakan antara jalur diploma yang diselenggarakan oleh suatu perguruan tinggi dan jalur diploma yang diselenggarakan oleh lembaga kursus. Biasanya lembaga kursus akan menjaring siswanya dengan mengiming-imingi kata-kata 'setara' diploma 1, diploma 2 atau diploma 3. Pada kenyataannya sertivikat yang akan kita terima tidak dapat kita gunakan untuk transfer/alih pendidikan di perguruan tinggi lain. Hal ini karena sertivikat yang dikeluarkan oleh lembaga kursus hingga saat ini belum diakui untuk dapat disetarakan dengan diploma dari perguruan tinggi.

FASILITAS PENDIDIKAN

Hati-hatilah dengan tampilan fisik. Himbauan ini nggak hanya berlaku kalo kita memilih teman, tetapi berlaku juga jika kita akan memilih suatu perguruan tinggi. Gedung megah dan ber-AC saja tidak cukup untuk menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang baik. Fasilitas utama yang harus kami ketahui dalam suatu perguruan tinggi adalah seberapa baik dan bagusnya fasilitas seperti laboratorium (komputer, akuntansi, bahasa, dan lain-lain), studio dan perpustakaan yang dimiliki.


Sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen4.asp

JENIS PENDIDIKAN TINGGI

"Mau nerusin ke mana setelah SMU ?" Mungkin itu yang ada di benak siswa-siswi yang udah kelas tiga SMU. Pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Karena saat ini sudah banyak sekali perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia.

Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari dua jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Ada baiknya kita mengetahui masing-masing jenis institusi pendidikan tinggi yang ada sebelum mendaftarkan diri.

Pendidikan akademik menghasilkan lulusan dengan gelar S1, S2 dan S3. Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2).

  1. Universitas : perguruan tinggi yang mempunyai program studi beragam dan dikelompokkan dalam fakultas-fakultas. Fakultas-fakultas yang ada itu dibagi lagi ke dalam beragam jurusan dan Akutansi, Manajemen dan Studi Pembangunan.
  2. Institut : perguruan tinggi yang mempunyai program studi dengan ilmu yang sejenis. Misalnya institut pertanian memiliki program studi pertanian, peternakan dan kehutanan, atau institut teknologi mengajarkan beragam ilmu yang berhubungan dengan teknik.
  3. Sekolah Tinggi : perguruan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program profesi sesuai dengan spesialisasinya. Misalnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi memiliki program profesi spesialis ekonomi, atau Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia memiliki jurusan Seni Lukis, Seni Patung dll.
  4. Akademi dan Politeknik : institusi pendidikan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program studi dan lebih menekankan pada keterampilan praktek kerja dan kemampuan untuk mandiri. Lama pendidikan tiga tahun dan tidak memberikan gelar. Hanya saja, di politeknik porsi praktek lebih besar.
Sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen5.asp

Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK

Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:

  1. Teknologi Informasi dan Komunikasi.
  2. Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
  3. Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
  4. Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
  5. Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
  6. Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.

Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:

  1. Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
  2. Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
  3. kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
  4. Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
  5. Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
  6. Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.

Sumber : dikdasmen.depdiknas.go.id/

REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama

Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.


Sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen11.asp

Kongres Guru Indonesia Akan Digelar di Jakarta

Seribu guru dari seluruh Indonesia akan menggelar Kongres Guru Indonesia di Jakarta pada 27-28 November mendatang. Selain membahas hal-hal yang terkait dengan profesionalisme guru, kongres yang disponsori Sampoerna Foundation (SF) itu diharapkan juga menghasilkan gagasan sebagai masukan bagi pemerintah.

"Kongres Guru Indonesia ini bertujuan untuk membantu guru mengembangkan keahlian, pengetahuan, dan keyakinan untuk mengeksplorasi hal baru," kata Direktur SF, Kenneth Cock, kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (21/10). Hadir dalam kesempatan itu Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi, dan Wali Kota Jakarta Pusat, Sylviana Murni.

Kenneth juga berharap, Kongres Guru Indonesia ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi para guru di Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya. "Guru-guru diharapkan meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Dengan demikian, mereka akan memiliki kemampuan untuk bersaing secara global, tetapi tidak kehilangan identitasnya sebagai guru Indonesia," ucapnya.

Dalam upaya peningkatan profesionalisme, guru memainkan peranan yang penting. Maklum, dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, hanya 41,7 persen saja (1.143.000 guru) yang pendidikannya mencapai jenjang sarjana (S-1) dan diploma IV. Karena itu, pemerintah terus mendorong guru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.

"Guru adalah profesi yang penting dan berpengaruh bagi kemajuan bangsa di masa depan. Karena itu, mutu dan kompetensi guru harus terus ditingkatkan," kata Baedhowi.

Pemerintah, menurut Baedhowi, memberikan beasiswa kepada para guru SD, SMP, SMA, dan SMK untuk menempuh jenjang S-1 dengan biaya APBN, APBD, serta sponsor.

"Tahun ini pemerintah memberikan beasiswa S-1 kepada 170 ribu guru, bukan hanya guru sekolah negeri, melainkan juga guru sekolah swasta, termasuk guru-guru di daerah yang bisa mengakses peluang ini melalui dinas pendidikan setempat," kata Baedhowi.

Namun, menurut Baedhowi, pendidikan setingkat S-2 dan S-3 bagi guru belum menjadi prioritas. Dia menegaskan bahwa guru harus menguasai sejumlah kompetensi. (suarakarya)

Sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen27.asp


SDM - Penghambat Perkembangan Pendidikan Menengah Pertama dan Menengah Atas

LATAR BELAKANG

Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, semakin banyak kita lihat pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan perubahan sistem hampir di semua bidang seperti pada contohnya ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu.
Disini kita akan lebih memfokuskan pada perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Negara kita Indonesia apabila kita analisa lebih rinci sebenarnya mempunyai banyak sekali tantangan terhadap perkembangan pendidikan, salah satunya yang sangat penting adalah minat siswa yang kurang dan berbagai kebijakan-kebijakan baru dan selalu berubah seakan-akan menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan, dan juga korupsi yang bukanlah hanya dapat mencuri anggaran negara untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi dimasa yang akan datang yang dapat mengurangi anggaran negara untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan yang sedang berjalan.
Di tanah air kita Indonesia ini, yang terdiri dari 17,000 pulau lebih, memang harus kita akui bahwa jalur komunikasi yang efektif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan masih sangatlah sulit. Pengembangannya pun tidak bisa kita pungkiri bahwa masih belum dapat dikatakan adil dan merata, contohnya adalah kota-kota besar biasanya mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dan perhatian yang lebih dari pemerintah ketimbang daerah-daerah pedalaman yang seharusnya mendapatkan “special attentions” dari pemerintah tetapi masih belum juga dapat terlaksana.
Kualitas pendidikan di Indonesia pun akan dapat ditingkatkan dengan cepat dan secara signifikan bilamana sumber daya manusia (guru yang berkualitas dan memliki profesionalisme yang tinggi) dan sumber daya lainnya yang sudah terdapat di Indonesia dapat dimanfaatkan merata. Akan tetapi, semua ini hanya bisa efektif jika suara masyarakat pendidikan secara luas didengarkan dan kemandirian ataupun kepercayaan masyarakat secara luas dapat dicapai.
IDENTIFIKASI & ANALISA PERMASALAHAN

Lalu apa yang sebenarnya menjadi penghambat perkembangan pendidikan saat ini? Dan apakah yang harus dihadapi bukan hanya oleh pemerintah saja tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat didalam perkembangan pendidikan di negara kita tercinta ini
Ada beberapa hal yang sangat penting yang menjadi pokok permasalahan dari penghambat perkembangan pendidikan terlepas dari masalah alokasi dana pendidikan dari APBN/APBN 20% yang sampai saat ini masih belum jelas sistematika pembagian kewenangannya dan upaya peningkatan sumber daya manusia para pengajar yang merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan harus ditindak lanjuti, tetapi akan saya lebih fokuskan kepada 2 hal berikut;

1. Pendidikan di Indonesia belum maksimal mengajak semua pelajar berusaha untuk berfikir mandiri dan kurangnya penerapan ilmu menganalisa sesuatu. Memang pemerintah sudah menerapkan solusi yang masih terbilang baru yaitu sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pengganti kurikulum 1994 yang menerapkan ilmu menganalisa dan menanamkan kemandirian di setiap pelajar tetapi apakah semua itu berjalan dengan lancar? Sedangkan menurut Drs.Yusuf Rianto, Dinas Pendidikan Kulon Progo, selama ini memang belum ada SK Menteri yang menetapkan pemberlakuan KBK. Jadi selama ini kebijakan KBK tersebut secara yuridis formal memang tidak ada dasar hukumnya. Beliau merasa sekarang ini hanya menjadi kelinci percobaan saja. Kurikulum yang selalu berubah-ubah pada setiap pergantian menteri pendidikan menajamkan pandangan masyarakat bahwa ada unsure politik didalamnya dan membuat masyarakat berasumsi bahwa pemerintah tidak ada mempunya konsistensi terhadap sebuah keputusan yang telah diambil. Pada akhirnya pihak siswalah yang paling dirugikan, pelajar yang dipaksa menerima perubahan yang begitu cepat, tanpa alasan yang memadai. Beliau juga menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang sangat ragu-ragu dan mengambil langkah cepat tanpa memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi, menunjukkan pemerintah dalam hal ini Depdiknas dinilai selalu tergesa-gesa, reaktif, tidak transparan dan partisipatif.

2. Kebijakan Nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) / Ujian Akhir Semester atau sejenisnya yang terbilang sangat memaksakan para pelajar. Didalam artikelnya Bapak Achmad Sentosa, seorang advisor untuk Partnership for Governance Reform in Indonesia menyatakan kekhatirannya bahwa UAN hanya akan mememperpanjang deret masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia. UAN mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap perkembangan mental pelajar Indonesia. Kita dapat mengambil satu contoh nyata, dikutip dari kompas cyber media edisi Juni 2006 seorang siswa SMK di Pontianak memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya lantaran tidak lulus didalam UAN, ini sudah jelas bahwa kebijakan tersebut telah menurunkan selera serta mentalitas pelajar untuk saling berkompetensi dalam menuntut ilmu. Pasal 60 UU No. 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecedasannya. Apabila sistem pendidikan kita melalui kebijakan konversi nilai tidak mampu menghargai siswa sesuai dengan bakat dan tingkat kecedasannya, maka perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
William Chang juga menyebutkan dalam artikel yang pernah di muat di media yang sama kompas bahwa, penerapan instrument multiple choice pada UAN juga tidaklah terlalu cukup untuk merepresentasikan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotorik siswa secara komprehensif dan objektif. Lama kelamaan secara tidak langsung, dari satu sisi, sistem ini akan lebih condong untuk menghargai pelajar yang mempunyai intelektualitas yang tinggi daripada anak-anak yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah. Dengan begitu pelajar yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah akan mengalami suatu perang batin apakah mereka cukup kompeten atau tidak. Dan apabila ini terus berlanjut tidak dapat dipungkiri bahwa akan banyak pelajar Indonesia pada masa mendatang yang akan mengalami penurunan mental yang selanjutnya akan menjadi salah satu pengambat dalam perkembangan pendidikan itu sendiri dan masalah ini sudah bisa digolongkan pada diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.




USULAN SOLUSI PERMASALAHAN

Melihat 2 jenis permasalahan dan setelah bersama-sama kita analisa masalah diatas, saya mempunyai beberapa usulan mengenai solusi dari setiap permasalahan diatas, berurutan dari nomor identifikasi permasalahan, yaitu;

1. Memotivasi minat pelajar Indonesia untuk mencintai sekolah. Dengan cara, pelajar dituntun untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif dalam belajar dan mengembangkan kreatifitas pelajar. Sebagai salah satu sample pendidikan negara maju dan saya akan mencoba memberikan sebuah perbandingan dari pendidikan di Finlandia yang menjadi negara dengan sistem sekolah terbaik di dunia, menurut Alex Steffan seorang Direktur Eksekutif World Changing Weblog.
Didalam artikel yang dimuat di Website Negara Finlandia penulis Virual Finland yaitu Sarra Korpela, setiap sekolah di Finlandia dianjurkan untuk memiliki ruang tersendiri untuk pembuatan majalah, musik, drama, ilmu pengetahuan seperti laboratorium, pendidikan lingkungan, ruang olahraga dan perpustakaan. Dan kebanyakan memiliki taman yang diisi dengan tempat duduk santai untuk membaca. Kembali ke jam pelajaran, mereka lebih banyak memilih pekerjaan kelompok daripada bekerja secara individu, agar tidak hanya menerima pelajaran tetapi juga bisa mengimplementasikannya.
Di web yang sama Alex Steffan mengatakan, “maybe the secret is what they don't do: Finnish students spend less time in class than students in any other industrialized nation”.
Dari contoh-contoh diatas kita bisa mengambil gagasan baru bahwa untuk mencapai pendidikan yang aktif dan kreatif sekolah tidak boleh hanya dijadikan tempat untuk sekedar belajar tetapi juga untuk bermain dan tempat yang bisa menunjang pengekspresian minat dan bakat terpendam siswa.
Untuk masalah kurikulum yang sedang terjadi menurut saya, pergantian kurikulum yang terus menerus akan merusak tatanan pendidikan yang telahada, dan pada akhirnya akan bingung dimana kurikulum kita sebenarnya berada dana akan dibawa kemana kurikulum kita. Seharusnya pemerintah melakukan reevaluasi dari kurikulum yang ada untuk menghilangkan hal-hal yang tidak relevan dan menambah hal yang masih harus diisi dalam kurikulum tersebut. Sehingga pemerintah tidak lagi melakukan pergantian yang berulang-ulang.

2. UAN dapat terus dilaksanakan apabila dalam konteks untuk dapat mengetahui pencapaian target pendidikan nasional, dengan begitu pemerintah dapat mengetahui daerah mana yang sudah mencapai target dan daerah mana yang belum agar dapat ditindaklanjuti kemudian. Tetapi, UAN tidaklah perlu dilaksanakan apabila hanya bertujuan untuk standarisasi kelulusan. Saya berikan dua contoh ilustrasi dampak yang akan terjadi apabila UAN menjadi stardarisasi kelulusan. Ada seorang pelajar yang rajin dan pintar, tidak pernah bolos, selalu juara, berkepribadian positif akan tetapi, tetapi karena pada malam sebelum ujian, salah satu keluarganya sakit, sehingga harus masuk rumah sakit dan harus menemani, ketika pagi harinya ujian berlangsung dia mengerjakan soal diliputi dengan perasaan was-was, tidak dapat berkonsentrasi penuh dan akhirnya hasil ujiannya dinyatakan gagal. Dan sebaliknya seorang siswa lainnya yang sering bolos, nilainya kurang memuaskan, tetapi pada saat ujian, kebetulan duduk berdekatan dengan anak yang pintar, sehingga dapat mencontek, akhirnya ujiannya dinyatakan lulus. Kita bisa melihat dari dua contoh diatas bahwa sungguh tidak adil apabila Ujian Akhir Nasional harus dijadikan standarisasi kelulusan siswa. Apakah pendidikan seperti ini yang diharapkan pemerintah kita?? Apakah pemerintah terlalu mementingkan sebuah nilai?? Apakah di Indonesia ilmu sudah bisa dibayar dengan sebuah nilai ujian???? Seharusnya pemerintah memberi kesempatan dan otonomi kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk menentukan kelulusan karena gurulah yang paling mengetahui proses perkembangan siswa selama di sekolah.
Menanggapi pendapat dari William Chang, saya mengusulkan agar penerapan instrument ujian untuk Multiple Choice diganti atau ditambahkan dengan penerapan studi kasus dalam ujian dan pembelajaran dan essay untuk meningkatkan ilmu menganalisa siswa. Didalam buku yang ditulis oleh Fredrick G.Brown disebutkan bahwa dengan essay para pelajar dan pengajar dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur pencapaian siswa. Sebelum itu kita menuju alasan tersebut mari kita ulas bersama apa yang dimaksud dengan pencapaian siswa. Implikasi kemampuan mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu.

Dua statement solusi tersebut ternyata memiliki hubungan yang kuat dan hubungan timbal balik demi mencapai pendidikan Indonesia yang didambakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang didukung dengan kurikulum yang transparan. Yang dimaksudkan dengan transparan disini adalah kejelasan proses kurikulum dan memiliki simbiosis mutualisme antara pemerintah dan anggota sekolah (guru dan pelajar).

Sumber: http://indonesiamasadepan.net/index.php?option=com_content&task=view&id=55&Itemid=47

KONTRADIKSI KTSP DAN UN

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap Indonesia dapat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif pada 2025. Pernyataan itu dikemukakan Presiden dalam pidato sambutannya pada acara puncak Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Lapangan Shiva, Yogyakarta, Sabtu (25/5) setahun lalu. “'Kurang 21 tahun dari sekarang (hendaknya) dapat dihasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif,”' katanya. Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif yaitu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, menurut Presiden, adalah aset dan kekuatan bangsa yang penting dalam menghadapi era globalisasi.Kepala Negara juga menekankan arti pentingnya pendidikan bermutu bagi kelangsungan dan kelestarian bangsa. Menurut Kepala Negara, Indonesia tidak akan maju dan tidak akan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam serta tidak mampu bersaing pada era global jika standar pendidikan rendah. Pendidikan, lanjut Presiden, diperlukan untuk mencetak manusia Indonesia yang pro-aktif, tidak hanya menunggu atau pasif. Dalam pidatonya Presiden Yudhoyono menekankan perlunya perubahan paradigma atau perubahan cara melihat suatu permasalahan, yaitu melihat secara menyeluruh.Dikatakan juga bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang tangguh untuk membentuk karakter bangsa.

Ujian Nasional Meningkatkan Mutu ?

Ujian Nasional untuk tahun ajaran 2007/2008 mulai berlangsung. Untuk siswa SMA/SMALB/SMK/MA telah dilaksanakan dimulai tanggal 22-24 april, dengan peserta seluruh Indonesia sebanyak 2.260.148. Siswa SMP/MTs/SMPLB tanggal 5-6 Mei dengan jumlah peserta 3.567.472, dan terakhir siswa SD/MI/SDLB pada tanggal 13-15 Mei dengan jumlah peserta 4.599.217. Ujian Nasional (UN) tahun 2008 ini jumlah mata palajaran yang diujikan bertambah. Setelah sebelumnya UN SMP dan SMA hanya memiliki tiga mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika (Jurusan IPA), Ekonomi (Jurusan IPS saja), Bahasa Asing (Jurusan Bahasa). Mulai tahun ini untuk tingkat SMP penambahan hanya untuk mata pelajaran IPA. Untuk tingkat SMA penambahan terjadi pada Jurusan IPA, yaitu : Fisika, Biologi, Kimia. Untuk Jurusan IPS di SMA ditambah dengan mata pelajaran : Sosiologi, Geografi, atau mata pelajaran dasar pada jurusan tersebut. Sementara untuk SMK tidak luput dari penambahan mata pelajaran, yang disesuaikan dengan program kekhususan pada SMK dimaksud. Dan ini adalah otoritas direktur SMK untuk menambah mata uji nasional di SMK. Maksud penambahan ini, menurut Sekretaris BSNP, Suharsono, untuk menambah angka kelulusan siswa, karena mata pelajaran yang ditambahkan adalah mata pelajaran khusus jurusan masing-masing dan otomatis diharapkan siswa tentu sudah lebih menguasai pelajaran spesialisasinya itu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 45 tahun 2006, pemerintah menetapkan angka 5,00 sebagai standar kelulusan. Untuk tahun 2008, secara tidak langsung BSNP menyatakan angka standar kelulusan tersebut menjadi 5,24.

Sejak mulai dicanangkan perencanaan Ujian Nasional sudah mengundang kritik dari berbagai pihak. Di luar kritik soal payung hukum, kritik mengenai substansi ujian nasional itu sendiri menjadi sangat penting. Misalnya, benarkah UN merupakan standar nasional pendidikan dan bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sebagaimana pernah dikemukakan Mendiknas? Idealnya memang begitu, sepanjang pengalaman masa lalu menunjukkan demikian.

Tapi yang terjadi justru menunjukkan hal sebaliknya. Tahun 2003, ketika masih bernama Ebtanas, hasil akhir berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM) rata-rata sangat rendah, yakni 5,15 untuk SLTP dan 4,56 untuk SMU. Itu pun setelah dilakukan konversi nilai, agar tingkat kelulusannya tinggi. Bahkan dinas pendidikan di daerah diberi izin memberi bobot pada NEM, dan menggabungkannya dengan nilai rapor. Konversi atau penyesuaian nilai juga masih diberlakukan terhadap hasil UAN 2004. Anehnya, konversi nilai dilakukan ke bawah untuk nilai tinggi, dan ke atas untuk nilai rendah. Kebijakan ini dianggap tidak adil, tidak mendidik, bahkan ada kesan membohongi hasil sistem yang dikembangpaksakan secara nasional. Penyesuaian nilai ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menggelar UAN, dan semata-mata hanya ingin mengejar tingkat kelulusan yang tinggi. Artinya, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tak tercapai. Disparitas mutu pendidikan antarsekolah dan antarwilayah tetap tak bisa dielakkan lagi.Bila sekarang Depdiknas menggelar UN tanpa konversi nilai, bahkan dengan ambang kelulusan 5,25, pasti banyak peserta ujian yang menjerit. Sebab disparitas mutu tetap berlangsung, dan tak bisa ditangani hanya dengan menyediakan tiga paket soal dengan tingkat kesukaran yang berbeda.

KTSP dan UN yang Kontradiktf

Mulai tahun ajaran 2006, kurikulum yang dikembangkan disekolah-sekolah adalah KTSP. KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan/kelompok. Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karena itu, kurikulum harus bisa menjawab tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

Sejatinya, KTSP tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya (berbasis kompetensi). Perbedaan utama KTSP memberikan wewenang penuh kepada sekolah/kelompok untuk menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar yang sudah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya. KTSP berdasarkan NSP berlaku pada jenjang pendidikan formal dan nonformal, jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) dan menengah (SMA dan SMK), dan disusun oleh satuan pendidikan/kelompok dengan hanya mengacu pada Standar isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Pengembangan KTSP yang beragam seharusnya mengacu pada 8 SNP untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun, saat ini penyusunan KTSP hanya mengacu pada dua, yaitu SI dan SKL. SNP lainnya belum dijadikan acuan dalam pedoman penyusunan KTSP. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau Kantor Depag kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Namun, sampai saat ini aparat birokrat masih sangat banyak yang belum siap. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (b) beragam dan terpadu; (c) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (d) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (e) menyeluruh dan berkesinambungan; (f) belajar sepanjang hayat, dan (g) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Namun, pendidik/kelompok sebagai pelaksana masih meraba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar dan peralatan untuk mendudkung proses belajar mengajar.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dibuat sesuai kreativitas guru, dan kondisi muatan lokal sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan ujian nasional (UN). berkualitas. Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal itu dikemukakan pakar pendidikan dari Universitas Atma Jaya Jakarta M Marcellino PhD. Menurut dia, KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan.

KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. "Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula," katanya. Kontradiksi antara KTSP dan UN, menurut Marcellino, menunjukkan bahwa KTSP digarap secara kurang integral. KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik.

KTSP hanya memuat dua kolom, yakni kolom standar kompetensi dan kompetensi dasar. Apalagi berbeda dengan Kurikulum 1994 atau Kurikulum 2004 yang masih memuat materi pokok yang akan diajarkan guru. "Konsekuensinya, materi pokok yang dikembangkan sekolah sangat beragam. Perbedaan materi mungkin terjadi antarsekolah yang berada dalam satu desa, baik muatan maupun kedalaman materinya. Di sisi lain, butir soal UN mengukur muatan tertentu dan kedalaman materi yang sama di seluruh Indonesia," katanya.

Dia mengatakan, menyusun soal UN yang merangkum berbagai perbedaan muatan dan kedalaman materi sehingga menjadi paket tes yang reliable, valid, dan adil sangat sulit. Oleh sebab itu, perlu mereformasi berbagai kebijakan pelaksanaan UN yang sejalan dengan KTSP.

Marcellino menerangkan, UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Dia mencontohkan, sekolah di Maumere, Poso, atau di Papua, pada umumnya tentu memiliki perbedaan signifikan dari segi mutu bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta.

"Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentunya memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah," katanya.

Dijelaskan, Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. "Alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya,'' ujarnya.

Sudah rahasia umum, katanya, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Marcellino menambahkan, lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah instan, dan kerdil kreativitas.

Dikatakan, semua pihak sebaiknya juga mendukung usaha pemerintah untuk mendapatkan standardisasi pendidikan nasional. Hanya saja, perlu pembenahan-pembenahan terdahulu untuk sekolah-sekolah yang belum maju dan berada jauh dari sentra administrasi negara. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, adalah kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga.

Berbicara tentang mutu pendidikan, dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. ''Mendorong semua sekolah di Tanah Air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak.

KTSP yang memang guru yang membuat, sedangkan UN yang membuat BNSP dengan berpedoman kompetensi dasar. BNSP dan diknas berasumsi pihak sekolah dan guru mampu menjalankan KTSP dengan baik sesuai dengan kondisi sekolah dan murid?. Banyak guru yang faktanya masih kesulitan untuk memahami dan menjalankan kurikulum yang baru. Kalau demikian yang terjadi tanpa ada pemantauan dari pihak Diknas dan BNSP tentang fakta di lapang, tentu UN yang dimaksudkan untuk menilai standar mutu pendidikan tidak akan tercapai. Seharusnya dilakukan dahulu uji kelayakan, baru kemudian soal-soal UN dibuat. Ditambah lagi jika kita cermati evalusi pendidikan seharusnya tidak mengesampingkan proses. KTSP gambaran kualitatif, UN kuantitatif. Soal UN belum dipastikan apakah sudah diserap oleh anak dan guru atau belum. Yang terjadi hanya berdasar kompetensi dasar semata.

Ketua Badan Standar Pendidikan Nasional Pendidikan (BSNP) Yunan Yusuf mengatakan, KTSP akan terus dikaji dan diharapkan pada 2009 semua sekolah sudah mampu menerapkannya. Untuk UN, akan disesuaikan dengan materi-materi pelajaran KTSP. Dia menegaskan, UN masih relevan sebagai alat ukur pencapaian kualitas pendidikan nasional. Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengadakan UN. "Meski UN menuai banyak kritik, namun pada kenyataannya UN merupakan faktor penting dalam menilai standar pendidikan nasional, sehingga UN tetap dilaksanakan


Sumber: http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=12

PWM GELAR REMBUK PENDIDIKAN SD/MI

Perwakilan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim menggelar rembuk pendidikan sd/mi se Jatim. Rembuk pendidikan ini diadakan di Kantor PWM Jatim di Surabaya, Rabu (22/4). Even ini diselenggarakan Jaring Pengembangan Sekolah Muhammadiyah (JPSM) Jatim.(oby


Setiap bulan JPSM Jatim menggelar rembuk pendidikan yang diikuti satu perwakilan dari sekolah SD/MI Muhammadyah yang ada di Jatim. Ada 300 sekolah Muhammadiyah se Jatim yang mengirimkan perwakilanya baik kepala sekolah maupun guru di antaranya berasal dari Gresik dan Ngawi
Ketua JPSM Jatim Mulyana Spd MSi mengatakan, agenda kali ini akan merealisasikan program pendididkan SD/MI Muhammadiyah se Jatim satu tahun ke depan. Selain itu Muhammadiyah juga akan meningkatkan kualitas guru, kepala sekolah dan murid.
Dalam rembuk ini bertujuan untuk mencari strategi penataan dan pencitraan sekolah. Diharapkannya murid sekolah Muhammadiyah dapat menghadapi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Mulyana menambahkan, rembuk ini juga bertujuan untuk penataan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Penataan Sekolah secara kelembagaan.
Saat ini yang menjadi pesaing sekolah Muhammadiyah bukan lembaga melainkan perkembangan jaman. “Untuk itu sekolah Muhammadiyah diharapkan mampu bersaing dengan perkembangan jaman,” tuturnya.
Mulyana opotimistis, 2009 sekolah Muhammadiyah mampu bersaing dengan sekolah lain. Untuk itu dibutuhkannya penguasaan media pada guru dan murid sebagai sarana penunjang pendidikan, ”Saat sekolah lain belum menggunakan bahasa Inggris, sekolah Muhammadiyah lebih dulu menggunakannya,” ujarnya.
Setiap bulan PJSM menggelar even dan acara yang berbeda. Pada 13 April PJSM menggelar Workshop Information comunication dan Tecnologi (ICT) berkerjasama dengan Pusat Komunikasi (Puskom) ITS di Gedung Puskom ITS. Pada 17 hingga 19 April menggelar Workshop Pengembangan Kurikulum HIV dan AIDS di Hotel Santika Surabaya. Acara ini diikuti 50 peserta dari guru dan kepala sekolah dari Majelis Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah Daerah (kabupaten dan kota) se Jatim.
Workshop Robotika diselengarakan pada 22 hingga 27 Mei dan Contes Robot se-Indonesia akan pada 6 Juni di Sun City Sidoarjo.


Sumber: http://www.jatimprov.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4109&Itemid=1

Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar Ditentukan Dengan Uang

Pada tanggal 9 Juni 2008 saya akan mendaftarkan anak saya di SD 010 pagi yang lokasinya satu komplek dengan SD 09 pagi Kembangan Utara, untuk mendapatkan formulir di SD 09 dan 010 Pagi Kembangan Utara harus mengantri mulai dari jam 02.00 pagi, padahal pengambilan formulir di buka pada pukul 07.30. Formulir yang di sediakan banyak, tetapi daya tampung sekolah hanya 35 bangku di SD 09 dan 70 bangku di SD 010.

Setahu saya PSBSD (Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar) ditentukan berdasarkan umur, tetapi kenyataannya uang juga yang menentukan. Panitia PSBSD menyaring calon murid dengan cara di test, padahal itu hanya formalitas saja.
Bagaimana anak bisa menjawab dengan benar jika panitia memberi pertanyaan dengan cara tergesa-gesa, ini terjadi pada tanggal 10 Juni 2008 di SD 010, Pak Aris selaku panitia memberi pertanyaan kepada anak saya dan keanak lainnya seperti mengintrogasi.

Jika penerimaan murid SD berdasarkan umur, calon murid yang mendaftar lebih dari 200 calon siswa, bisa diperkirakan anak yang mendekati 7th pasti lebih dari 50 anak. Tanggal 16 Juni 2008 pengumuman penerimaan murid baru berdasarkan rangking umur, tapi kenyataannya anak yang umur 6,2th diterima karena ayahnya anggota Polri, umur 6,4th diterima karena ibunya panitia perpisahan kelas VI dan masih banyak lagi kasus yang tidak masuk akal, kalau bukan karena uang apa lagi mudusnya ?. Sedangkan anak yang berumur 7th , 6,8th banyak yang tidak diterima dengan alasan tidak lulus test. Belakangan saya dengar ada bangku kosong 2-5 bangku , tapi harus dibeli minimal 1 juta.

Mohon kepada Dinas Pendidikan Jakarta Barat untuk lebih memperhatikan tentang PSBSD di SD 09 dan 010 pagi , karena ini sudah terjadi setiap tahun, banyak pihak guru, kepala sekolah SD, kepala sekolah TK semua ikut andil dalam PSBSD dengan alasan ingin membantu tetapi semuanya itu uang juga yang menolong. Apakah yang harus sekolah di SD 09 dan 010 pagi Kembangan Utara hanya orang yang berduit dan berpangkat ??? Untuk mengurangi hal seperti itu seharusnya dibangun lagi Sekolah Dasar di wilayah Kembangan Utara Kec Kembangan Jakarta Barat terutama diwilayah Kp.Salo dan Basmol.

Sumber: http://www.mediakonsumen.com/Artikel2756.html