Senin, 20 April 2009

BISNIS PERGURUAN TINGGI, KUALITAS VS KUANTITAS

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) mengemukakan bahwa pada tahun akademik 2005-2006 ini jumlah mahasiswa baru di Jateng dan DIY mengalami penurunan sebesar 10-15 persen. Kondisi ini oleh PTS ditanggapi dengan penuh kecemasan. Mereka menganggap penurunan jumlah mahasiswa ini karena PTN menerapkan kebijakan baru dalam peneriman mahasiwa baru dengan jalur khusus. Anggapan ini kemudian dibantah oleh PTN karena mereka juga menghadapi masalah yang sama yaitu penurunan jumlah mahasiswa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena ini memunculkan kembali masalah lama yang menjadi tuntutan masyarakat yaitu kualitas perguruan tinggi. Memilih perguruan tinggi (PT) berkualitas seharusnya akan menjamin masa depan mahasiswanya. Namun, memilih PT yang berkualitas sekarang bukan pekerjaan mudah, para calon mahasiswa akan dihadapkan pada pilihan antara kualitas ataukah kemudahan dalam menyelesaikan pendidikan. Berbagai PT sekarang menawarkan beragam program studi dengan metode penngajaran yang bermacam pula. Ada metode konvensional, dimana mahasiswa hadir di kelas dan mendapatkan transfer ilmu. Namun, ada pula metode non konvensional dimana mahasiswa cukup membayar sejumlah biaya tertentu dan bisa memilih gelar yang diinginkan (bahkan dari universitas di luar negeri) atau metode kelas jauh, kelas khusus, extention dan lain sebagainya. Hal ini kemudian menjadi perdebatan di kalangan praktisi pendidikan tinggi maupun masyarakat tentang etika penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan cara non-konvensional tersebut. Perdebatan ini merupakan sebuah cerminan dari semakin mundurnya idealisme penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia. Idealisme mereka terkalahkan oleh permintaan pasar akan gelar akademis guna kepentingan prestise. Kelas khusus, kelas jauh atau apapun namanya biasanya tidak memenuhi standar kualitas akademis seperti kelas reguler, hal ini dikarenakan tujuan penyelenggaraannya yang bukan dilandasi keinginan melakukan transfer pengetahuan, namun lebih karena pertimbangan bisnis. Perguruan tinggi negeri dan swasta berlomba-lomba membuka kelas khusus seperti ini karena dari sisi pendapatan demikian menggiurkan. Biaya untuk mengikuti kelas non-reguler seperti ini bisa dua kali lipat kelas reguler. Fenomena seperti ini menimbulkan pertanyaan besar di hati kita, apakah dunia pendidikan (tinggi) yang seharusnya menjadi kubu terakhir dari implementasi nilai-nilai idealis sudah kehilangan nilai-nilai tersebut ? Sebelum kita mampu menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus kita pahami kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Seperti juga semua aspek di dalam kehidupan kita, pendidikan rupanya juga mengikuti arus kapitalisme. Kapitalisme berati akumulasi modal untuk memperoleh profit dan ini yang sedang dilakukan pendidikan tinggi Indonesia. Tuntutan permintaan pasar akan gelar akademis disambut dengan membuka kelas reguler maupun non-reguler sebanyak-banyaknya. Pembukaan kelas tersebut tidak menjadi masalah selama kualitas masih dijadikan acuan para penyelenggara pendidikan, namun kita bisa melihat bahwa kualitas output pendidikan tinggi kita masih jauh dari memuaskan. Kualitas rendah dari output perguruan tinggi terjadi di kelas reguler yang nota bene masih mempertahankan kualitas. Bagaimana dengan kelas non-reguler (kelas jauh, kelas khusus atau kelas malam), sebagai praktisi di dalam pendidikan tinggi, penulis melihat output perguruan tinggi kelas non-reguler kualitasnya lebih memprihatinkan.
Pendidikan Tinggi Dan Daya Saing Nasional
Dalam laporan
The World Competitiveness Report
dalam
World Economic Forum
disebutkan bahwa daya saing Indonesia di pasar internasional hanya berada di peringkat bawah, jauh di bawah Thailand, Malaysia, Cina bahkan Philipina (Tambunan, 2001). Indeks yang dihitung dalam pengukuran daya saing negara ini termasuk kualitas SDM-nya. Adapun, penilaian
Human Development Index
Indonesia hanya mendapatkan skor 0,681 dan berada pada ranking 108 dari 174 negara yang dinilai (Ahmad, 2001). Kualitas SDM Indonesia ternyata berada jauh di bawah Malaysia (ranking 56) dan Filipina (ranking 77).Hal ini rupanya sesuai dengan
hasil survei
Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia menempatkan Indonesia di urutan ke-12 atau setingkat di bawah Vietnam. Selain itu, di antara 12 negara yang diriset lembaga penelitian yang berkantor pusat di Hong Kong itu, sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia.
Pendidikan seharusnya dapatmenjamin terwujudnya peningkatan daya saing nasionalMenurut Tambunan (2001), pendidikan mempunyai peran besar dalam meningkatkan daya saing nasional, dengan menyediakan SDM yang berkualitas bagi penyediaan tenaga kerja. Namun, gambaran ideal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang kita lihat sehari-hari. Lunturnya idealisme para penyelenggara pendidikan di Indonesia menyebabkan cita-cita untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai basis utama dalam peningkatan daya saing nasional, masih jauh dari harapan kita.
Kapitalisme Dalam Pendidikan Tinggi
Hampir semua aspek kehidupan di negara ini sudah dipengaruhi oleh kapitalisme. Aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya tidak mampu menghindar dari gejala ini. Dunia pendidikan (tinggi) juga tidak ketinggalan menggunakan kapitalisme sebagai landasan operasionalnya. Oleh karena itu, pendidikan tinggi kemudian mempunyai anggapan bahwa gelar akademis adalah permintaan pasar yang harus dipenuhi. Kenyataan ini mungkin tidak dapat dihindari. Ariel Haryanto (1991) mengemukakan bahwa kapitalisme dapat memacu persaingan yang kompetitif dan mengedepankan kualitas. Dalam sebuah artikelnya, beliau mengemukakan bahwa industri hiburan di Amerika Serikat justru menghasilkan karya budaya bermutu karena kentalnya nuansa kapitalisme. Jika kemudian pendidikan tinggi juga dipengaruhi kapitalisme maka kualitas seharusnya dijadikan
competitive advantage
. Penurunan jumlah mahasiswa baru di PTN/PTS seharusnya dilihat dengan bijaksana. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sebab, yaitu,
pertama
, masalah demografi. Penurunan jumlah penduduk usia 18-24 karena keberhasilan program KB menyebabkan hal ini.
Kedua
, krisis ekonomi berkepanjangan yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, sehingga perguruan tinggi dianggap layanan pendidikan yang mahal.
Ketiga
, masyarakat mulai kritis dengan kualitas pendidikan tinggi sehingga mereka mulai mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengambil keputusan untuk kuliah atau bekerja.Urgensi peningkatan kualitas pendidikan tinggi adalah hal yang menjadi inti dari tulisan ini. Kualitas tersebut dimulai dari proses pendidikan hingga output pendidikan tinggi itu sendiri. Kenyataan yang kita temui di lapangan ketika perguruan tinggi terlalu eksesif dalam memenuhi
permintaan pasar tanpa mempertimbangkan kualitas menjadi keprihatinan kita. Pada akhirnya semuanya tergantung dari
stakeholder
dari pendidikan tinggi itu sendiri, yaitu penyelenggara, dosen, mahasiswa, pemerintah dan sektor industri. Komitmen mereka untuk tidak meninggalkan idealisme dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi akan menjamin bahwa pendidikan tinggi Indonesia tidak akan menghasilkan “sarjana kosong” belaka. Peningkatan kualitas pendidikan akan menjamin eksisitensi sebuah perguruan tinggi di mata masyarakat.

Sumber: http://www.scribd.com/doc/6164384/Bisnis-Perguruan-Tinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar