Kamis, 12 Maret 2009

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Tepatnya pada tanggal 17 Desember 2008 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan oleh DPR menjadi UU. Pengesahan ini diwarnai dengan aksi unjuk rasa di depan dan di dalam gedung DPR oleh mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Aksi ini menolak pengesahan RUU BHP ini menjadi UU BHP karena dinilai di dalam pasal-pasalnya terdapat unsure liberalisasi dalam bidang pendidikan.

Dalam pasal 42 ayat 1 UU ini disebutkan bahwa “Badan Hukum Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.” Dapat dilihat di pasal ini bagaimana sebuah badan hukum pendidikan yaitu sekolah maupun perguruan tiggi dapat bermain saham. Sekolah atau kampus dapat bermain saham layaknya sebuah perusahaan. Ini kampus atau perusahaan? Dalam pasal inilah salat satu unsur liberlasasi dapat ditemukan. Dalam pasal lain, yaitu pasal 43 ayat 1 disebutkan pula bahwa “Badan Hukum Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi dana pendidikan.” Jelas dari dua pasal ini mengindikatorkan secara gamblang bahwa sekolah atau kampus dapat bermain saham dan investasi layaknya sebuah perusahaan.

Kemudian yang menjadi permasalahan adalah pada BAB X pasal 57 tentang Pembubaran BHP. Pada pasal ini disebutkan bahwa BHP buabar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan; dinyatakan pailin; dan atau asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Dapat dilihat, bagaimana sebuah sekolah atau kampus dapat dibubarkan karena pailit, karena sudah tidak ada lagi dana. Para siswa ataupun para mahasiswa yang menempuh pendidikan tersebut kemudian dipindahkan begitu saja ke sekolah lain. Agar tidak mengalami pailit tentu sekolah atau kampus harus mencari dana. Darimana dana itu? Tentu saja dari para mahasiswa atau siswa yang menempuh pendidikan di sekolah atau kampus tersebut. Tentu secara tidak langsung biaya pendidikan akan menjadi mahal, karena sekolah atau kampus mencari dana sebanyak mungkin agar tetap survive, tidak pailit.

Dari pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa liberalisasi pendidikan diberlakukan ketika Undang-Undang ini diberlakukan ke seluruh sekolah maupun perguruan tinggi. Kata “liberalisasi” memang tidak tertulis secara gamblang, secara tersirat lah makna liberalisasi ini diterapkan dalam Undang-Undang ini. Di dalam Undang-Undang ini tidak pula mengatur adanya bagaimana sebuah kurikulum dalam sekolah atau kampus. Pendidikan adalah suatu hal yang esensial dalam membangun sebuah peradaban, tetapi dengan disahkannya UU BHP ini maka pendidikan dijadikan sebuah komoditi perdagangan. Tak terbayangkan bagaimana masa depan pendidikan Indonesia kelak ketika BHP ini telah diberlakukan dan dilaksanakan. Bagaimana seorang anak miskin tidak lagi bersekolah, tidak lagi bisa menempuh pendidikan tinggi disebabkan oleh kekurangan biaya, karena pendidikan kelak akan menjadi sangat mahal. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat mengakses pendidikan tinggi, ruang gerak orang miskin untuk mendapatkan akses pendidikan menjadi lebih sempit. Sekarang saja sebelum UU ini diberlakukan terlihat jelas banyak anak seorang miskin putus sekolah dengan alasan biaya, apalagi jika memang UU ini dilaksanakan. Sungguh tak terbayang hancurnya pendidikan Indonesia, dan tentu karena hancurnya pendidikan hancur pula negeri ku ini yang tercinta.

sumber:http://robeeon.net/politik/undang-undang-badan-hukum-pendidikan.html#more-157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar