SEBAGIAN besar ekonom sepakat, sumber daya manusia dari suatu bangsa-bukan modal fisik atau sumber daya material-merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa bersangkutan (Todaro, 1997).
Sebetulnya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan saat kita berbicara tentang hubungan antara pendidikan dan pembangunan ekonomi. Pertama, kita harus melihat pendidikan sebagai suatu investasi pada modal manusia (human capital investment). Ketika kita berbicara tentang investasi, pertanyaan berikutnya adalah apakah investasi efektif dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Biaya investasi dan hasilnya
Studi ekonomi yang membahas hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi pada awal dasawarsa 1960-an memengaruhi banyak pembuat keputusan di negara-negara berkembang (NSB) untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran ke bidang pendidikan. Tetapi studi-studi ini juga telah menciptakan “mitos” di tengah masyarakat kita tentang pendidikan formal.
Percepatan dan pemerataan penyediaan pendidikan formal secara kuantitatif kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi, mitos seperti inilah yang berkembang selama ini. Kecenderungan lain yang muncul di NSB, termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi. Kecenderungan ini yang mendorong meningkatnya permintaan akan jenjang pendidikan tinggi (Todaro, 1997).
Studi Psacharopoulus (1972) mengenai pembiayaan pendidikan memaparkan hal yang amat mengagetkan, di mana di NSB rata-rata biaya seorang mahasiswa setara dengan 88 kali biaya seorang siswa SD. Kenyataan ini berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Selandia Baru yang perbandingannya mencapai 17,6. Sayang, tingginya biaya pendidikan tinggi di NSB tidak diikuti secara proporsional pendapatan yang diperoleh dari seseorang lulusan perguruan tinggi (PT).
Dengan studi yang sama ditemukan, seorang pekerja lulusan sarjana menerima pendapatan sekitar 6,4 kali pekerja lulusan SD. Meski biaya pendidikan tinggi di NSB terlihat amat mahal, hal ini tidak serta-merta dapat diartikan pemerintah perlu memberi subsidi kepada pendidikan tinggi. Sebaliknya kesenjangan yang lebar antara biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh menunjukkan adanya misalokasi sumber daya (investasi).
Kondisi Indonesia tahun 2003 tidak sekontras itu. Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan PT memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD.
Manfaat sosial dan individu
Ikutnya dana publik (social cost) ke dalam pembiayaan pendidikan menjadikan keuntungan sosial (social benefit) layak dipertimbangkan sebagai tolok ukur efektivitas investasi modal manusia. Dengan kata lain, subsidi pendidikan kepada seorang siswa (mahasiswa) semestinya bernilai secara efektif untuk masyarakat. Selain manfaat sosial, pendidikan juga memberi manfaat individu (private benefit) melalui pendapatan atau akses kepada pekerjaan yang layak. Dalam ekonomi pendidikan, kedua manfaat itu selalu dijadikan tolok ukur tentang pengaruh pendidikan terhadap nilai ekonomis, termasuk pembangunan ekonomi.
Psacharopoulos dan Patrinos (2002) menemukan, investasi pendidikan tinggi di Indonesia tahun 1986 memiliki nilai manfaat sosial sebesar 5 persen. Nilai ini lebih rendah ketimbang manfaat sosial dari pendidikan menengah yang mencapai 11 persen. Sayang studi ini tidak mengungkapkan manfaat individu yang diperoleh. Tetapi mengamati kecenderungan yang terjadi di NSB, kemungkinan besar manfaat individu dari pendidikan tinggi lebih tinggi dibanding jenjang pendidikan lain.
Dengan metode serupa, saya mengalkulasikan nilai manfaat itu untuk tahun 2003 dan dari data Susenas BPS 2003 ditemukan, nilai manfaat sosial untuk pendidikan tinggi sebesar 5,46 persen dan nilai manfaat individu sebesar 18,2 persen. Perlu dicatat, kedua manfaat itu dibandingkan terhadap sekolah menengah.
Apa yang bisa ditangkap
Dari studi terbaru terlihat, nilai manfaat sosial pendidikan tinggi cenderung meningkat, meski dengan pertumbuhan relatif lambat, yaitu sebesar 0,46 persen. Secara teoretis ada dua hal yang dapat diinterpretasikan dari peningkatan nilai manfaat ini.
Pertama, peningkatan nilai manfaat disebabkan penawaran pendidikan tinggi (supply of higher education) masih belum mencapai titik jenuh, sehingga setiap unit peningkatan penawaran masih memberi return yang positif (belum mencapai excess supply).
Kedua, terjadinya perubahan struktur ekonomi dan tenaga kerja di mana permintaan akan tenaga kerja lulusan PT kian besar yang mendorong lulusan kelompok ini menerima tingkat upah di atas tingkat upah yang kompetitif. Tingkat upah yang tinggi tentu akan memperbesar sumbangan pada negara melalui pajak dan ini mendorong meningkatnya manfaat sosial.
Meski nilai manfaat sosial dari investasi pendidikan tinggi cenderung tumbuh, meminta porsi lebih besar lagi dana publik tampaknya perlu dinilai lebih hati-hati. Isu sentral di sini terkait keterbatasan pembiayaan publik ditambah biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan tinggi yang umumnya cukup besar. Temuan empiris Duflo (2001) menunjukkan, kebijakan pendidikan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Meski begitu, temuan ini tidak lantas menyimpulkan, peningkatan mutu PT tidak penting sama sekali. Meski demikian, pemerintah harus mencari alternatif kebijakan lain selain pembiayaan langsung, seperti subsidi maupun bantuan keuangan lain, yang lebih efektif dalam meningkatkan kualitas. Selain itu, tuntutan kualitas tentu akan lebih banyak dialamatkan kepada institusi PT itu sendiri.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan kendala minimnya dana subsidi pemerintah? Tentu masih banyak peluang. Dilihat dari indikator manfaat yang cukup tinggi, baik sosial maupun individual, terlihat institusi pendidikan tinggi dalam waktu ke depan masih merupakan “ïndustri” pendidikan dengan tingkat permintaan cukup tinggi, baik oleh masyarakat maupun pasar tenaga kerja. Dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat Alhumami, institusi pendidikan tinggi perlu terintegrasi dengan kalangan usaha dan industri.
Integrasi ini dapat dimaksudkan untuk mendapatkan pembiayaan operasional maupun meningkatkan mutu pendidikan tinggi sendiri, seperti melalui riset maupun kerja sama PT dengan kalangan usaha. Integrasi ini juga akan mendorong PT untuk memiliki daya kompetisi, di mana dengan kompetisi, PT dituntut untuk selalu meningkatkan mutu dan kualitasnya.
sumber: http://rumahpengetahuan.web.id/?p=13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar