Kamis, 12 Maret 2009

BHP dan PSB

Wacana perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah dirasakan cukup oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) hingga hari Senin kemarin telah ada kontak dengan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU BHP dari Komisi X DPR RI, Dr. Anwar Ariefin yang menjabat pula sebagai pimpinan Komisi X DPR RI.

Teringat, perkataan Pak Malik Fajar saat menjadi Mendiknas di era Mbak Mega, bahwa ia menyatakan tidak apa bila menterinya diganti, asalkan sistemnya tidak dirusak.

Nah, apabila saat ini kebijakan pendidikan, RUU BHP yang dahulu telah digarap Depdiknas oleh suatu tim khusus yang akhirnya menyatakan siap membahas bersama Panja RUU BHP, itulah salah satu indikator dimana mereka masih menggunakan draft RUU yang terus dimodifikasi sejak digagas pada era pemerintahan Pak Malik Fajar di Depdiknas; dan mereka memang tidak merusak sistem yang ada dalam Depdiknas, akan tetapi mereka, dalam kepemimpinan Mendiknas Bambang Sudibyo hanya memodifikasi elemen-elemennya saja agar menjadi layak dipakai,seperti yang mereka lakukan terhadap draft RUU BHP versi Juli 2007.

Adapun, beragam isu persoalan yang masih melekat dalam RUU BHP pada masa kini adalah; 1) konsep otonomi perguruan tinggi vs komersialisasi pendidikan tinggi; 2) eksistensi yayasan dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dari unsur masyarakat; 3) tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi; 4) kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan pendidikan formal (TK,SD,MI,SDLB,SMP,Mts,SMPLB,SMA,SMK,SMALB,MA dan MAK); 5) kontroversi audit keuangan dan pelaporan BHP; 6) keterlibatan Notaris sebagai legalisator akta BHP bersama Mendiknas; 7) ekses miss-leading BHP berpotensi mengeksploitasi dana masyarakat; 8) eksistensi model administrasi dan pola manajerial lembaga pendidikan BHP; 9) ekses utang-piutang biaya penyelenggaraan BHP; 10) eksistensi dan sustainabilitas jaminan pendidikan formal yang bermutu dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi; 11) kesiapan sumber daya kependidikan menjelang pemberlakuan BHP; 12) kewajiban Pendidikan Tinggi terhadap negara dan masyarakat.

Nah, demikianlah kiranya isu seputar BHP yang masih umum, namun dapat dipaparkan dengan jelas ketika diadakan sebuah lokakarya atau mimbar ilmiah yang tepat mengenainya dalam sebuah forum yang mencakup perwakilan stakeholder pendidikan formal nasional.

Nilai Harta di Masa Rekrutmen Peserta Didik

Kenyataannya, bahwa harta yang merupakan aset bagi penyelenggaraan pendidikan formal adalah benar. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran aset berbentuk; 1) uang, sebagai alat tukar yang sah; 2) tanah dan bangunan; 3) alat mobilisasi, transportasi dan komunikasi dan hal lainnya yang memiliki nilai khusus untuk ditukar dengan suatu produk berupa jasa dan benda adalah sangat penting bagi pelaksanaan fungsi administrasi kependidikan yang dimulai sejak; persiapan, assesmen, desain, permodelan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi serta supeevisi program kependidikan tersebut.

Namun, hal yang sangat penting dan harus dijadikan prinsip utama dalam penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia sebagai salah satu pengejawantahan amanat UUD 1945 hasil amandemen dalam konteks pendidikan adalah tidak ada instruksi jual-beli pendidikan dalam pendidikan nasional. Artinya, saat sistem pendidikan yang bersifat nirlaba dan berorientasi pelayanan publik, dalam tataran input pendidikan, tidak dibolehkan ada penawaran harga (apalagi tinggi) dari semua pihak; baik dari pihak penyelenggara atau pihak masyarakat yang akan menjadi calon peserta didik atau calon pendukung peserta didik dalam hal penerimaan peserta didik baru (lebih dikenal PSB atau Penerimaan Siswa baru). Begitu pula halnya saat masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di seluruh lembaga pendidikan tinggi. Namun, agak sulit kiranya dalam mekanisme Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diatur oleh Forum Rektor sebagai media rekrutmen peserta didik untuk lembaga pendidikan tinggi yang mereka kelola saat ini di seluruh wilayah Indonesia.

Jual-beli bangku sekolah atau bangku kuliah bisa saja terjadi sebagai suatu indikator jual-beli pendidikan, namun tidak demikian stigma bagi SPMB, karena sistem SPMB hanya memberikan akses kontak yang terbatas antara PTN dengan masyarakat, hingga anomali yang muncul, paling seputar; 1) joki peserta SPMB; 2) jual kelulusan SPMB (tapi kasus yang satu ini sulit dibuktikan).

Adapun, masalah jalur Penelusuran Minat Dan Keahlian (PMDK) yang digagas pada era kepemimpinan Dr. A.M. Satari pada Institut Pertanian Bogor (IPB) sehingga diadaptasi secara nasional, hal ini masih memiliki integritas yang cukup baik, kecuali pada beberapa PTN atau bahkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang menggunakan label PMDK untuk melakukan penjaringan calon mahasiswa dengan atau tanpa tes ujian saringan masuk, namun para oknum dalam PTN atau PTS tersebut mengeruk uang dari banyaknya calon mahasiswa yang melamar ke lembaga pendidikan tinggi mereka, misalnya dengan nominal RP 50.000,-, tapi sang pelamar tidak masuk PTN tersebut, sebaliknya di PTS bisa saja diterima, karena faktor sumbangan nominal yang lebih besar dapat memiliki pengaruh yang signifikan bagi keputusan untuk menerima sang pelamar tersebut.

Kemudian, adanya jenis PMB dengan istilah jalur khusus, pada kenyataannya merupakan inisiatif penyelenggara pendidikan dengan alasan subsidi silang; dimana para calon peserta didik yang memiliki uang yang dapat disetorkan kepada mereka dalam nilai rupiah yang pas, maka sang pelamar akan langsung diterima di lembaga mereka dengan memenuhi kriteria; 1) memiliki nilai akademik yang layak (sebagai bukti obyektif bahwa dia pintar); 2) memiliki kemampuan mengikuti tes kelayakan (sebagai bukti otentik bahwa dia juga diuji).

Sehingga, pada saat kalangan tertentu mempertanyakan tentang, mengapakah harus membayar mahal untuk memasuki lembaga pendidikan ? atau mengapakah sepertinya, ada transaksi jual-beli bangku seperti itu ?

Maka pihak penyelenggara jalur khusus itu dapat dengan mudah berargumen, bahwa tidak ada komersialisasi atau praktik jual-beli pendidikan, seperti yang ditanyakan kepada mereka, karena mereka menerima calon peserta didik yang pintar dan mengikuti ujian seleksi pula.

Adapun, saat ditanya, mengapakah calon harus membayar sekian rupiah, lalu diterima ?. Maka, mereka akan mengemukakan bukti adanya calon yang sanggup membayar lebih besar, namun sang calon tidak memiliki nilai akademik yang layak dan hasil tes seleksi yang cukup, maka ia pun tidak mereka terima.

Sehingga, akan sangat kentara kesan, tidak ada komersialisasi pendidikan dalam lembaga mereka, meskipun sesungguhnya, mereka tak mungkin menerima calon peserta didik yang hanya mampu membayar sumbangan pengembangan; admission fee, tuitition fee, atau apapun istilah yang dipergunakan guna menamai fungsi uang yang disetor kepada mereka itu, jika hanya berjumlah Rp 500.000,-.

Institut Teknologi Bandung (ITB) eks Technichse Hogeschool ini, pada 2007 memiliki istilah sumbangan pengembangan akademik pada jalur penerimaan USM (Ujian Saringan Masuk) dengan nilai rupiah sebesar Rp 45.000.000,- untuksetiap program studi S-1, kecuali untuk Sekolah Manajemen dan Bisnis, Rp 60.000.000,-.

Bagaimanakah dengan satuan pendidikan tingkat kanak-kanak, pendidikan dasar dan menengah ?

Ada sebuah SD yang dikelola oleh unsur kelompok masyarakat, memiliki nominal biaya PSB sebesar Rp 8.000.000,-, tapi jika pendaftar memenuhinya pada masa penerimaan gelombang I, maka akan di-discount sebesar Rp. 1.000.000,- dan pada gelombang II, discount-nya hanya RP. 500.000,- saja.

Lalu, ada yang lebih hebat lagi, lembaga pendidikan swasta di Jakarta Selatan, menampakkan nominal biaya masuk untuk satuan pendidikan setingkat TK sebesar Rp 35.000.000,- dan yang setingkat SD berbayar Rp 40.000.000,-.

'Wah, ini aktifitas jualan produk atau aktifitas pembiayaan layanan nirlaba nih ?'

Oya, bila untuk sekolah yang berada di hutan dan daerah terpencil, yang gurunya itu relawan lulusan universitas, kemudian tidak ada biaya PSB yang harus dibayar dengan uang, akan tetapi masyarakat di sana hanya memberikan umbi hutan saja, sesungguhnya tidak perlu ada nilai harta berupa uang dalam jumlah besar saja untuk mendapatkan pendidikan yang mencerdaskan.

sumber: http://re-searchengines.com/0707ridza.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar