Sebagai manusia yang belum memahami secara batiniah apa yang terjadi di sekitarnya anak-anak cenderung akan mengikuti apa yang lingkungan berikan kepada mereka. Seandainya lingkungan mendukung mereka untuk melakukan hal-hal positif anak-anak akan berbuat positif. Namun sebaliknya jika mereka mendapat perlakuan negatif dari lingkungannya maka kesan-kesan negatif dalam dirinya timbul terhadap situasi sekitar mereka.
Anak-anak di manapun mereka berada memang sangat tergantung sekali pada keadaan lingkungan di mana mereka menghabiskan hari-harinya. Tidak peduli apakah mereka anak korban konflik yang akrab dengan letusan senjata, anak-anak di lingkungan kumuh yang hidungnya sudah kebal dengan bau busuk sampah sekitar ataupun anak gedongan yang cuma bisa menghabiskan hari libur piknik ke Singapore. Belum lagi ucapan-ucapan yang mereka dengar sehari-hari, sedikit demi sedikit membentuk watak dan di kemudian hari mereka pun cenderung mengucapkan kalimat-kalimat yang sama dengan yang mereka dengar di masa kecil. Jadi sangat penting untuk menempatkan anak-anak pada situasi yang positif, yang penuh semangat dan bernuansa saling membantu. Begitu juga dengan anak korban konflik.
Walaupun mereka anak korban konflik, apakah ayah mereka dibunuh, rumah dibakar, kakak-kakaknya dipukuli di depan mata, namun pada hakekatnya mereka anak kecil yang masih dapat dibentuk atau dengan kata lain masih dapat diisi. Konon lagi jika mereka saat konflik masih berada dalam kandungan alias belum dilahirkan. Beberapa kasus ditemukan anak-anak korban konflik yang tidak sempat melihat ayahnya karena kepala keluarga tersebut dibunuh dalam konflik. Bagaimana dengan mereka ini? Apakah mereka akan dendam terhadap pembunuh ayahnya? Ataukah mereka biasa-biasa saja tumbuh besar tidak ada beda dengan anak-anak lain? Mungkin saja terhadap anak-anak korban konflik tanpa ayah ini perlu ada perlakuan khusus. Namun tampaknya tidak semua orang beranggapan seperti ini.
Beberapa orang tua yang ditemui beranggapan tidak ada masalah dengan anak-anak korban konflik. Secara kasat mata perilaku mereka sehari-hari tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka bermain bersama, sekolah bersama serta mempunyai hak-kewajiban yang sama di keluarga dan masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Sekdes Desa Riseh Tunong, sebuah desa di kecamatan Aceh Utara yang dahulunya merupakan daerah konflik. Beliau menganggap anak-anak belum tahu apa-apa. “Anak-anak tidak ada yang dendam, trauma. Apalagi mereka masih kecil-kecil, belum tahu apa-apa. Buktinya sekarang banyak anak korban DOM yang diangkat menjadi PNS, menandakan mereka tidak trauma.”
Memang dari sisi perilaku, beberapa anak korban konflik tidak mempunyai perbedaan yang kentara dari anak-anak lain. Mereka juga bermain bersama dengan teman-teman yang lain. Namun anak-anak korban konflik yang umumnya kehilangan ayah sebagai kepala keluarga keadaan ekonominya lebih memprihatinkan. Terlebih anak-anak yang pergi sekolah yang tentu saja butuh seragam, buku tulis dan berbagai peralatan lainnya. Situasi ekonomi keluarga kentara sekali tampak dalam penampilan anak-anak sekolah. Guru-guru di sekolah dasar Negeri Blang Pante Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, ketika ditanya tentang kondisi anak korban konflik memberikan tanggapan. “Mungkin dari segi seragam sekolah yang berbeda, pakaian mereka terlihat lebih kumuh karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membeli yang baru”.
Namun di waktu-waktu tertentu anak-anak dari daerah konflik akan memberikan sebuah ciri khas berdasarkan keadaan lingkungan mereka semasa konflik. Misalnya dalam pelajaran menggambar mereka cenderung menggambar benda-benda yang dulu lazim berada di sekitar mereka. Seorang guru keterampilan sekolah dasar menyampaikan fakta yang ditemuinya saat memberikan pelajaran menggambar di kelas. “Sesekali mereka ada menggambar panser. Namun sikap peninggalan dari masa konflik masih ada pada anak-anak. Jika mendengar suara meletus, ban bocor misalnya, mereka akan merunduk dengan seketika persis kalau mendengar bunyi bom saat konflik dulu”.
Lain lagi bagi anak-anak korban konflik yang mendapat pendidikan di pesantren, mereka mendapat pendidikan lain yang tidak didapati di sekolah umum yaitu pendidikan akhlak (pelajaran budi pekerti). Pelajaran akhlak perlahan-lahan dapat membantu anak-anak menghilangkan rasa dendam di hati, ikhlas terhadap keadaan. Pesantren memberikan pelajaran agama yang terpadu, menyeluruh dan menciptakan sistem yang menciptakan murid-murid patuh kepada tengku-tengku (guru) mereka. Saiful, 10 tahun, anak korban konflik yang tidak sempat melihat ayahnya menuturkan pengalamannya menimba ilmu di Pesantren Al Hidayah Blang Teue, Aceh Utara. Dengan suara lugu namun jelas terdengar ia mengatakan “Guru mengaji di sini mengajarkan untuk tidak dendam kepada orang-orang yang telah mengambil ayah saya. Namun saya masih ada rasa sedikit marah karena mereka telah membunuh ayah saya”
Teman Saiful yang lain yaitu Bakhtiar, 10 tahun, menceritakan bagaimana ayahnya diambil oleh aparat keamanan pada tahun 1999, menurut ibunya dan orang-orang kampong. Saat itu ia masih dalam kandungan ibunya. Beberapa lama kemudian jasad ayahnya ditemukan di suatu tempat yang jauh dari kampong asalnya, hanya tinggal tengkoraknya. “Saya tidak pernah melihat wajah ayah, bahkan foto KTP nya sekalipun belum pernah lihat” katanya dengan tabah. Mereka berdua sama-sama belum pernah melihat ayahnya, namun mereka berdua telah diajarkan untuk tidak dendam terhadap pelaku pembunuhan ayahnya. Tidak mudah memang, namun dengan pelajaran dari guru-gurunya, suasana positif dari pesantren tempat mereka tinggal, perlahan-lahan dendam itu diredam.
Bagaimanapun, anak-anak korban konflik semua mempunya alasan yang sangat kuat untuk suatu saat melakukan tindakan balasan atas kekejaman yang menimpa keluarganya. Bentuknya bisa saja berbeda-beda, apakah itu melakukan perlawanan secara politik, secara bersenjata ataupun melalui tindakan-tindakan sporadis. Untuk itu potensi-potensi tersebut harus diredam seminimal mungkin melalui program yang ditujukan kepada mereka yang bersifat berkelanjutan. Kemudian lagi jangan sampai komunikasi terhadap mereka korban konflik putus. Jangan sampai mereka merasa diabaikan sebagai anak negeri, terlebih mereka banyak tinggal di daerah pedalaman.
Tgk Subki, Seorang guru Pesantren di Rayeuk Kuta kecamatan Tanah Luas, sebuah daerah pedalaman di Aceh Utara memberikan pendapatnya tentang hal ini “Saya melihat tidak ada sikap untuk balas dendam dalam diri mereka. Mungkin jika mereka besar nanti, jika ada yang memprovokasi bisa jadi mereka akan balas dendam. Pemerintah jangan putus komunikasi dengan mereka supaya mereka tidak terisolir dari masyarakat. Komunikasi mulai dari tingkat desa. Jika anak-anak korban konflik terprovokasi, mereka bisa meledak, bagaikan bom waktu. Jika mereka mendapatkan beasiswa hingga dapat sekolah hingga perguruan tinggi, mereka akan mendapatkan wawasan yang luas”.
Yang dimaksud di atas tadi tentulah bantuan yang bersifat fisik dan pemberian bantuan biaya sekolah. Ada satu penanganan lain yaitu penanganan trauma anak. Penanganan trauma anak-anak korban konflik berbeda dengan anak-anak trauma tsunami. Trauma konflik lebih sulit ditangani dan membutuhkan waktu yang lama. Ini bisa dipahami mengingat anak-anak berada di tengah situasi konflik dalam waktu yang lama pula dan membekas begitu dalam di hati mereka.
Mengulang apa yang dikatakan oleh seorang guru pesantren bahwa anak-anak korban konflik akan menjadi bom waktu jika tidak ditangani secara tepat dan berkelanjutan. Mereka melihat langsung konflik, merasakan langsung pahitnya kehilangan ayah atau keluarga tercinta. Akibat konflik mereka merasakan kepahitan hidup yang berkepanjangan. Siapakah yang mereka harapkan untuk bisa membantu meringankan beban hidup mereka selain pemerintah? Bukankah sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin, sesuai dengan pernyataan dalam UUD 1945, yang dibacakan setiap peringatan 17 Agustus di halaman sekolah.
Konon lagi Aceh kini bergelimang dengan rupiah, bahkan kabar cerita mengatakan orang-orang terhormat di dalam gedung-gedung ber-AC sulit menghabiskan. Ditambah lagi dengan banyaknya NGO, khususnya yang bergerak di bidang advokasi anak hadir di kota Serambi Mekkah. Sudah selayaknya anak-anak korban konflik ini mendapat bantuan, tidak ada yang harus cemburu.
Anak-anak merupakan kertas putih, para orang tua lah yang harus mengisinya. Hitamkah mereka, putihkah mereka atau abu-abukah mereka nanti kelak ketika dewasa. Kita, para orang tua yang harus membantu mereka agar mereka bisa menjadi mandiri, tanpa dendam, bersih bagaikan kertas putih.
Sumber: M. Nizar (www.wikimu.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar