TAK semua anak punya perkembangan intelektual yang 'normal' atau rata-rata. Ada anak 'gifted' atau 'talented' -dikaruniai kecerdasan atau bakat luar biasa- yang tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya. Sayangnya, kadang anak gifted ini baru diketahui setelah ia masuk SD. Coba kalau bisa diketahui saat ia masih di preschool, kan bisa masuk SD lebih cepat. Tapi, bagaimana peluang anak berbakat ini ? Gimana orangtua mengetahui kalau anaknya berbakat? Sebenarnya bisa saja lho, anak yang belum berusia 6 tahun bersekolah di sekolah dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur mental si anak, yakni kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya. "Contoh, anak umur 4 tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah siap masuk SD," papar Prof Dr. S.C . Utami Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia. Cuma, untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, orangtua mesti mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. Dari sini, nanti bisa diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur kalender) x 100 = IQ. Bila skor IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 85-115), bisa saja ia dipandang gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Menurut Utami, jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 2-5% dari keseluruhan anak. Namun sejauh ini belum semuanya mendapat pendidikan khusus. Tak semua sekolah mempunyai fasilitas, sarana, dan prasarana yang bermutu, ataupun kelas unggulan yang bisa mengembangkan dan melihat anak-anak yang berbakat. Padahal sebenarnya dengan bakat di bidang intelektual, tak menutup kemungkinan balita bisa masuk SD. Akibatnya banyak anak yang umur mentalnya sudah tinggi namun tidak terstimulasi dengan baik, sehingga mereka bosan di kelas karena merasa materi yang diajarkan guru terlalu mudah. Kemungkinan anak yang masih usia TK bisa masuk SD juga dibenarkan Dra. Shinto B. Adelaar, M.Sc., psikolog perkembangan anak. Namun menurutnya bukan semata-mata karena IQ saja yang kelewat tinggi dibanding anak-anak lain. Si anak juga mesti punya tingkat kematangan yang mampu menghadapi stres dan situasi sekolah. "Sebab situasi dan cara belajar di SD berbeda dengan di TK. Di SD, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau jalan-jalan. Ia juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru. Berarti, dari segi pemikiran, si anak harus lebih matang," Shinto menjelaskan. Secara emosi, anak juga harus lebih matang, agar mampu mengontrol diri dan tidak lagi bertingkah laku berdasarkan keinginannya sendiri. Jadi, meski anak IQ-nya tinggi, belum tentu EQ-nya tinggi. Kalau anak itu masih dependent (bergantung pada orangtua), sikap bekerjanya belum terbentuk, masih banyak sikap bermainnya, kemungkinan besar bila anak dimasukkan ke SD ia bisa mengalami tekanan dan stres, sehingga menimbulkan reaksi malas belajar atau tidak mau sekolah. Selain berefek malas, anak yang terlalu dipaksakan lompat jenjang pendidikan bisa menimbulkan masalah psikologis. Kasihannya, pada anak balita itu. Di usia itu mereka masih ingin main, sementara anak lainnya sudah tidak ingin main lagi. Di jenjang pendidikan berikutnya, misalnya saat di perguruan tinggi dan si anak baru berusia 15 tahun, secara emosional dan sosial ia belum sematang teman lainnya. Tak jarang temannya akan mengangap dia sebagai anak kecil, karena mungkin dari segi fisik belum berkembang sepenuhnya. Jadi dari segi sosial ada hambatan. Atau karena susah bergaul karena komunikasinya sering tidak nyambung, anak lebih senang membenamkan diri pada buku. Memperdalam, bukan Mempercepat Kadang orangtua yang punya anak berbakat yang mulai bosan di playgroup atau TK, jadi geregetan dan ingin menaikkan anak ke SD. Namun menurut Shinto, ini bukan solusi yang baik, apalagi jika hanya karena orangtua melihat anak itu lebih cerdas dibanding anak lainnya. "Jika ingin memasukkan anak ke SD di usianya yang belum cukup, sepatutnya melihat dulu kondisi anak, karena apapun yang dipaksakan sebelum waktunya akan mengundang risiko. Kalau anak itu enjoy, bisa bergaul dengan lingkungan sosialnya dan senang belajar, tak masalah. Silakan saja melompatkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi jika tidak, jangan dipaksakan, karena orangtua hanya akan merampas waktu bermain anak." Lebih baik menurutnya, perkaya pengetahuan dan kematangan anak. Orangtua tidak perlu 'mempercepat' tapi lebih 'memperdalam' pengetahuan anak. Misalnya anak TK A, pengetahuannya baru sampai C, kita asah pengetahuan anak hingga sampai F. Tapi levelnya tetap TK A. Tujuannya, supaya nanti si anak tumbuh menjadi anak yang pintar dan kreatif dan punya kepribadian yang matang. "Saya percaya kematangan kepribadian itu lebih banyak menujang keberhasilan anak, daripada semata-mata kecerdasaan intelektual saja." Menaikkan anak ke kelas yang lebih tinggi, misalnya tidak masuk kelas 1 tapi langsung kelas 2, juga bukan solusi yang baik. Sebab dengan menaikkan kelas anak, berarti ada materi tertentu yang tertinggal. Sebaiknya, untuk anak berbakat ini dimasukkan ke kelas akselerasi. Di sana mereka akan memperoleh kurikulum lebih singkat dan padat tanpa harus kehilangan satu materi pun. Toh sekarang banyak sekolah unggulan yang menyenggarakan kelas akselerasi. Dengan masuk kelas akselerasi dan bergabung dengan anak lain yang punya kemampuan yang sama, anak lebih terstimulasi. Sebab anak yang sangat cerdas jalan pikirannya tidak sesuai dengan anak seusianya. Bila ngobrol ia tidak 'nyambung'. Bagi anak yang kecerdasaannya rata-rata, anak yang terlalu cerdas ini jadi membosankan, menganggap si anak terlalu serius karena omongannya jauh ke depan dari anak yang lain. Amati Tanda-tanda Awal Agar orangtua tak terlalu lama mengetahui kalau si kecil berbakat, sebaiknya orangtua melihat dan memperhatikan kemampuan anak sejak dini. Tanda-tanda anak berbakat dapat dilihat dari pertanyaan yang ia ajukan. Pertanyaan si anak biasanya mendalam, kritis, dan tidak cepat puas dengan jawaban yang sekedarnya. Anak memberikan reaksi yang lebih matang dari usia sebayanya, cepat bisa membaca sendiri tanpa diajarkan. Caranya, dengan memberi rangsangan dan sarana yang bisa merangsang bakat anak, misalnya menyediakan aneka permainan. Dengan begitu, selain anak akan terpacu intelektualitas dan kreativitasnya. Supaya tidak salah langkah, orangtua perlu memeriksakan anak ke psikolog untuk mengetahui apakah anak itu berbakat, sebelum memasukkan anak ke SD pada usia dini. Shinto menyarankan, orangtua yang punya anak berbakat dengan IQ tinggi, tapi emosinya belum berkembang, sebaiknya tidak meloncatkan anaknya ke kelas atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab belajar di SD itu lebih susah, apalagi SD di Jakarta. Anak terlalu banyak di-drill sehingga banyak mengurangi minat anak untuk belajar. Lebih baik anak tetap di TK tapi ia diberi tambahan pengetahuan yang banyak.
sumber: http://www.mail-archive.com/balita-anda@balita-anda.com/msg74451.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar