Pendahuluan “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan” Tulisan di atas, sengaja saya kutip sebagai langkah awal untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia agar memiliki kepedulian dan perhatian penuh terhadap anak-anak yang menderita kelainan fisik dan mental. Kesadaran ini, tentu bukan karena ingin mendapatkan pujian dan kehormatan dari orang lain, tetapi ini dilakukan atas dasar rasa kemanusiaan sebagai sesama yang juga berkesempatan memperoleh hak-hak hidup secara layak. Terkadang kita berpikiran negatif dan cendrung mengesampingkan anak-anak yang berkelainan dari segi fisik dan mental. Karena alasan itulah, kita kehilangan kesadaran bahwa mereka juga sama dengan kita dan mereka pun mempunyai kedudukan yang sama dalam segala apa pun. Inilah yang terjadi dengan tunanetra, sosok manusia yang dalam kehidupan masyarakatnya kurang mendapatkan perhatian dan seringkali karena kelainannya itu, mereka termarginalkan oleh lingkungan tempat tinggalnya. Dalam segala aspek kehidupan pun, tunanetra tidak bisa bergaul selayaknya anak-anak normal yang punya gairah bermain, belajar, dan bercanda. Saya punya pengalaman menarik, ketika bertatap muka langsung melihat kondisi tunanetra yang berkecimpung dengan aneka alat, semisal permainan, mesin tik Braille, computer dengan program Braille, printer Braille, abacus, calculator bicara, kertas braille, penggaris Braille, kompas bicara dan lain sebagainya. Pengalaman saya tersebut berkaitan dengan kegairahan dan semangat yang berlipat dari kaum tunanetra yang belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Walaupun secara logika, mereka tidak memiliki masa depan yang cerah seperti anak-anak yang lain, namun semangat kebersamaan mereka dalam menjalani hidup dan proses belajar patut diacungi jempol. Ini karena, mereka bisa menjalin persaudaraan yang kokoh untuk tetap maju menatap masa depan yang menjadi dambaan mereka. Ketika saya bertanya kepada mereka, apa yang anda impikan dengan kondisi anda yang tidak memungkinkan? Mereka menjawab, “saya hanya ingin seperti anak-anak yang lain, yang mempunyai cita-cita tinggi dalam hidup. Di samping itu, harapan saya yang paling besar adalah dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, lingkungan masyarakat, keluarga, teman-teman, tenaga pendidik khusus tunanetra, agar selalu memberikan semangat kepada kami semua yang tidak sama dengan mereka”. Ketika itu pula, saya berpikir bahwa tunenetra mempunyai keinginan yang sama, perlakuan yang baik, dan kesempatan yang setara dalam hidup, terutama ketika memasuki dunia pendidikan formal. Pengalaman saya berkumpul bersama tunanetra, membuat saya semakin dewasa untuk memberikan santunan dan motivasi yang besar bagi mereka. Bahkan, karena seringnya berkumpul, saya termotivasi secara pribadi untuk menjadi generasi yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Ini karena, seorang tunanetra bernama Andi yang pernah berkumpul bersama saya, memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan dalam kondisi apa pun, dan ketika memasuki pendidikan formal, dia semakin percaya diri dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pelajar. Dari segi pergaulan pun, dia selalu fun dengan kondisinya dan tidak ada perasaan terabaikan sedikit pun dari pergaulan bersama teman-temannya yang memiliki fisik sempurna. Dari SLB Menuju Pendidikan Umum Selama ini, saya hanya tahu, bahwa tunanetra lebih banyak di tempatkan di lembaga-lembaga pendidikan yang khusus, semisal Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Berkelainan (SLB), dan Pendidikan Terpadu. Diantara pendidikan khusus bagi tunanetra yang hampir sama dengan pendidikan formal adalah Pendidikan Terpadu. Pendidikan Terpadu ini adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK) dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan. (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Karena itu, dalam kesempatan ke depan, tunanetra perlu diberikan peluang yang besar untuk memasuki dunia pendidikan umum (formal). Ini dilakukan, agar potensi yang dimiliki tunanetra dapat tersalurkan secara optimal, walaupun pada akhirnya potensi yang berkembang tersebut tidak seperti potensi yang dimiliki anak-anak normal yang lain. Selain itu, dengan kesempatan yang ada ini, diharapkan lembaga pendidikan umum mampu memberikan pelayanan secara khusus kepada tunanetra. Perlu disadari bahwa kesempatan bagi tunanetra untuk memperoleh pendidikan umum, saat ini masih sangat minim. Minimnya kesempatan tersebut, dalam pandangan saya akan semakin mempersulit pengembangan potensi dan skill yang dimiliki tunanetra. Padahal, akses pendidikan yang kita ketahui bukan hanya diberikan kepada anak normal, melainkan tunanetra pun juga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan umum. Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen Pendidikan untuk Semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia, misalnya, menurut data Depdiknas tahun 202, hanya sekitar 7,5% anak penyandang cacat usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Masuknya tunanetra ke lembaga pendidikan umum (formal), bagi saya tidak hanya sekedar penguatan untuk menghilangkan asumsi negatif yang menganaktirikan kalangan tunanetra, melainkan mesti dilandasi dengan kesadaran baru dalam rangka membantu masa depan mereka agar bisa mengenyam pendidikan formal secara layak tanpa tebang pilih. Kesadaran semua pihak dalam merealisasikan program pendidikan bagi tunanetra ini, pada akhirnya akan membakar semangat mereka untuk belajar lebih giat, tekun, ulet, sungguh-sungguh, dan selalu percaya diri dengan potensi yang dimilikinya. Nah, ketika tunanetra sudah masuk di lembaga pendidikan formal, saya berharap lingkungan baru itu tidak menjadi bumerang bagi proses bejarnya. Ini karena, pendidikan formal bukan merupakan pendidikan khusus atau terpadu bagi tunanetra, tetapi di lembaga pendidikan ini, mereka akan berbaur dengan anak normal yang memiliki pandangan berbeda ketika melihat dan berkumpul dengan anak-anak tunanetra. Melihat kenyataan inilah, Bambang Basuki salah seorang pendiri Yayasan Mitra Netra, yang juga guru SLB mengatakan bahwa tunanetra yang tidak mempunyai gangguan akademik dan juga emosional, mereka hanya membutuhkan rehabilitasi, kemudian aksesibiltas dan perlakuan khusus. Rehabilitasi itu berupa konseling bahwa mereka menerima kebutaannya, baik yang low vision dengan menggunakan pembesaran huruf dan orientasi mobilitas karena tidak bergerak dengan mandiri. Sekarang kita melihat IT sebagai akesiliblitas untuk mendapat informasi maupun komuniaksi secara tertulis itu masih bermasalah. Di samping itu juga, yang menjadi persoalan adalah terkait dengan aksesibilitas transportasi bagi kalangan tunanetra yang menempuh pendidikannya di lembaga pendidikan formal. Optimalisasi Pendidikan Inklusif Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal, maka pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan terpadu pun, pendidikan inklusif menjadi pilihan yang dirasakan sangat membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra. Pilihan model ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadai karakteristik dari pendidikan inklusif. Sehingga tak heran, jika sistem segregasi tidak lagi dipakai dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah dengan menerapkan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra. Dalam pandangan Didi Tarsito, pendidikan dalam setting segregasi memang dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara benar. Karena itulah, pendidikan inklusif tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang telah diterapkan oleh sistem regregasi. Saya mengartikan pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi-potensinya secara optimal. Dalam artian, model pendidikan ini, berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra-agar memperoleh kesempatan belajar yang sama, di mana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan tunanetra dapat terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all). Demi masa depan tunanetra, pendidikan inklusif harus berjalan secara optimal dan segala kebutuhan tunanetra dalam proses belajar mengajar diupayakan dapat terpenuhi. Adanya pendidikan inklusif ini, ternyata telah dijamin oleh Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa “penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional”. Dengan jaminan Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi tunanetra akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itulah, dalam implementasi pendidikan inklusif, kita memerlukan upaya maksimal yang dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara inklusif dan integral. Dalam hal ini, Sunardi (2002) memberikan lima poin penting penerapan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra. Pertama, menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Kedua, mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Keempat, penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Kelima, melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Penutup Dengan setting pendidikan inklusif ini, masa depan tunanetra yang pada awalnya terus menerus termarginalkan dan terabaikan dari lingkungan masyarakat dan pergaulan dengan teman-temannya, diharapkan mampu bangkit dari diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang orang-orang yang tidak memiliki kesadaran. Tentu hal ini, dapat terwujud apabila penerapan pendidikan inklusif berjalan optimal dan memberikan kobaran semangat bagi tunanetra.
Sumber: http://www.kartunet.com/?pilih=lihat2&topik=10&id=82
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar