Sabtu, 02 Mei 2009

Gagasan Pendidikan Antikorupsi

Maraknya kasus tindak pidana korupsi yang terungkap menjadi angin segar bagi tegaknya bidang perhukuman di Indonesia. Sebab, seiring dengan ditabuhnya genderang perang tanda dimulainya era reformasi-suatu masa yang menggulirkan rezim Orde Baru-perombakan ranah konstitusional di sana-sini adalah cita-cita ideal.

Reformasi hukum juga merupakan bagian paling mendasar dalam reformasi segala bidang di negeri ini. Dengan reformasi hukum ini diharapkan akan terwujud hukum yang tegak berdiri sendiri dan tidak pandang bulu. Maka, tidak lantas terjadi kasus hakim kencing bediri, jaksa kencing berlari.

Cita-cita ideal dalam mewujudkan tegaknya supremasi hukum di Jawa Barat, umpamanya, masih dianggap berkekurangan tanpa adanya wujud reformasi total jika tidak didukung komponen-komponen lain seperti perangkat hukum yang jelas (baca: undang-undang), aparat penegak hukum yang tegas, dan kesadaran warga yang tertancap kuat atas segala marabahaya laten koruptor di daerahnya.

Oleh karena itu, perlu digagas pula pembaruan dalam aspek lain. Misalnya, yang saya anggap paling mendasar adalah aspek pendidikan. Sebab, semua orang dapat maju atau menyukseskan arah pembangunan lewat pendidikan, baik formal, informal maupun semiformal.

Kita tahu bahwa sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan terlalu mementingkan salahsatu aspek saja, misalnya kognitif siswa. Padahal, sebagai pabrik penghasil mobilisator pembangunan, lembaga pendidikan hendaknya diselenggrakan secara holistik, integral, dan komprehensif. Dalam arti, seluruh pembinaan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa dapat digenjot dengan menggunakan sistem pendidikan yang paradigmatik.

Paradigma Pendidikan

Dalam teks Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 diungkapkan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Lebih tegas, aspek yang dikembangkan tidak hanya sebatas ranah kognitif an sich, tetapi harus memerhatikan eksistensi aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa. Sebab, sampai sekarang banyak orang cerdik pandai dalam kognitif, tetapi kurang mampu mengaplikasikan disiplin kelimuannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak berperan apa-apa bagi arah pembangunan.

Kita semua hampir sependapat bahwa orang yang melakukan tindak pidana korupsi di negeri ini bukan orang bodoh, melainkan orang-orang yang berpengetahuan tinggi bila dibandingkan dengan warga yang berada di pedesaan. Namun, secara aplikatif laku lampah mereka nihil etika, moral, dan nilai-nilai keluhungan ajaran agama. Mungkin inilah model “paradigma kultural” yang hendak kita ubah ke arah yang baik seiring dengan perjalanan reformasi yang baru berumur sewindu lebih ini.

Apabila kita analisis secara kritis, sebagai lembaga pendidikan yang sistemik-terdiri dari input, proses dan output- maka paradigma pendidikan yang telah lama bergulir di negara ini hanya memandang output (baca: hasil) atau hanya bisa memproduksi intelektual mumpuni, tetapi secara moral masih patut dipertanyakan. Padahal, yang diperlukan bangsa ini adalah pengelola-pengelola negara yang baik secara moral, dan kemampuan intelektual adalah prasyarat selanjutnya.

Maka, kondisi tersebut mendorong kita untuk memikirkan ulang model pendidikan macam apa yang membina peserta didik agar menjadi manusia yang baik secara moral dan intelektual. Sebab, yang dibutuhkan sekarang ini adalah mencetak manusia-mengutip istilah Murtadha Muthahhari-yang manusiawi, yakni manusia yang membenci perilaku korup, diskriminatif, dan individualistik sebagai model laku lampah yang patut dijauhi.

Namun, karena sindrom korupsi telah mengakar kuat, diperlukan pembongkaran secara radikal sampai ke akar-akarnya. Paradigma pendidikan antikorupsi pun dalam konteks kekinian sangat penting untuk dicetuskan dalam rangka menyukseskan cita-cita ideal reformasi 1998, yakni memberantas persebaran “virus-virus korup” di Bumi Pertiwi yang telah sakit-sakitan ini.

Antikorupsi

Pendidikan yang dipandang sebagai sebuah sistem harus mulai memerhatikan kembali komponen-komponennya.

Pertama, dari segi input (calon siswa) tidak ada pembedaan antara anak orang kaya dan anak orang miskin. Yang terjadi selama ini, anak orang kaya seolah punya kebebasan untuk memilih sekolah favorit yang ia mau. Sementara anak orang miskin mesti pikir-pikir dahulu untuk menentukan sekolah yang dipilih, terutama apabila tersandung dengan biaya.

Kedua, dari segi proses kita perlu menggagas suatu kondisi pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa pada sikap seorang intelektual yang bermoral luhur. Jadi, setiap orang yang ikut dalam proses pendidikan, baik kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha, maupun pembantu sekolah, hendaknya ikut andil dalam rangka mewujudkan kondisi pembelajaran yang baik.

Pendidikan yang yang paling baik adalah yang menggunakan contoh. Jika semua komponen sekolah berprilaku baik, anak pun akan terbawa untuk berprilaku baik. Sigmund Freud mengatakan, ”Yang paling menunjang dalam proses pendidikan adalah orang tua (keluarga), sekolah dengan segala komponennya, dan lingkungan”. Kalau kita urutkan lagi ketiga penunjang tersebut, maka lingkungan yang paling utama. Lingkungan dapat dikondisikan sehingga anak pun akan ikut terkondisi.

Ketiga adalah output. Ini sangat berkaitan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Konsep-konsep pendidikan yang digunakan harus relevan dengan pencapaian tujuan pendidikan, terutama harus memerhatikan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik


Sumber: http://lenterapena.wordpress.com/2007/10/27/gagasan-pendidikan-antikorupsi/#more-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar