Hakikat dari pendidikan adalah pemberdayaan manusia ke taraf insani. Drijarkara mendefinisikan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Proses pendidikan itu sendiri meliputi proses transfer ilmu dan pengetahuan (transfer of science and knowledge), pembinaan moral dan pengembangan potensi pribadi (peserta didik). Semua itu ditujukan supaya setiap peserta didik mampu hidup secara mandiri di masa mendatang (menempati harkat sebagai manusia yang sesungguhnya). Sehingga yang menjadi sasaran utama dari pendidikan adalah pembangunan karakter peserta didik (character building).
Parasit Pendidikan
Tujuan pendidikan tersebut hendaknya dijadikan tujuan utama bagi penyelenggaraan pendidikan. Karena tujuan tersebut merupakan fondasi pendidikan yang paling mendasar bagi nilai-nilai humanitas. Namun seringkali penyelenggara pendidikan, baik tingkat lembaga atau negara mengabaikan fondasi tersebut dan terjebak oleh parasit pendidikan.
Diantara parasit yang paling rentan dan membahayakan terhadap pendidikan adalah acuan penilaian yang terlampau sakral dan mesti diikuti secara membabi-buta (output oriented), baik dalam lingkup lembaga atau negara. Sehingga pendidikan hanya sekedar jadi arena lomba mendapatkan nilai akhir (baca: nilai ujian). Sedangkan proses pendidikan tidak terlalu dijadikan acuan dan diperhatikan lagi sebagai objek penilaian.
Parasit yang kedua adalah adanya kepentingan terselubung dalam penyelenggaraan pendidikan. Terutama kepentingan ekonomis (meraup laba) semata. Dengan kata lain, passionate capitalism (hasrat meraup keuntungan yang bersifat materi) sangat mewarnai penyelenggaraan pendidikan, baik oleh pribadi maupun kelompok tertentu. Lembaga-lembaga pendidikan hanya dijadikan lahan bisnis bagi penyelenggaranya. Sehingga yang diutamakan adalah kuantitas siswa dan tuntutan dunia kerja atau spesialisasi (program studi) diarahkan pada pencapaian karier siswa semata.
Walaupun terlihat realiastis, dua jenis parasit tersebut lambat-laun akan menggerogoti pendidikan dan akhirnya pedidikan akan kehilangan nyawa (mati). Pendidikan akan kehilangan makna (substansi) dan hasil yang didapat dari proses pendidikan tersebut tidak akan berguna bagi pelestarian nilai-nilai humanitas. Orang (lulusan sekolah) terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang individualistis dan materialistis.
Dampak Yang Lebih Luas
Lembaga pendidikan yang kering (tidak bermakna) setiap tahun akan melahirkan pribadi-pribadi yang tidak memiliki karakter humanistis. Sebuah generasi yang hanya mengetengahkan pencapaian akhir (nilai) dari sebuah pembelajaran serta siap bersaing dalam kancah perebutan kekayaan dengan bekal sejumlah ilmu yang mumpuni dan pandangan hidup pragmatis-ekonomis. Tak jarang persaingan itu terjadi tidak secara sehat. Suap (kolusi) dan nepotisme jadi pilihan utama dalam mendapatkan pekerjaan. Setelah mendapatkan pekerjaan korupsi pun jadi alternatif utama untuk mengembalikan ongkos mendapatkan pekerjaan (baca: balik modal). Tanpa disadari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) menjadi sebuah aturan yang disepakati tanpa perlu nota kesepahaman. Bahkan membentuk sistem birokrasi di berbagai lembaga pada sebuah negara.
Lembaga pelayanan publik (milik pemerintah) seperti rumah sakit dan sekolah tidak lagi dianggap sebagai fasilitas umum oleh sebagian masyarakat. Karena pelayanannya cenderung lebih ditujukan untuk elit tertentu. Terutama karena ongkos pelayanan yang terlalu mahal untuk dibayar serta sikap tidak empati para pengelolanya terhadap nasib mereka. Tak ayal, banyak orang yang rela untuk melawan penyakit kronis bahkan meregang nyawa di gubuk-gubuk dan di kolong-kolong jembatan dari pada berobat ke rumah sakit. Sementara itu bagi anak-anak yang berasal dari kalangan yang kurang mampu secara ekonomi, berjualan di pinggir jalan (pedagang asongan) dan mengamen menjadi pilihan karena desakan kebutuhan ekonomi. Membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga sudah mereka anggap cukup. Harapan untuk mewujudkan cita-cita mereka sewaktu kecil berlalu begitu saja seiring berlalunya mobil-mobil yang mereka temui di jalan-jalan.
Dampak terpuruknya pendidikan juga terlihat pada tatanan masyarakat. Equality (persamaan) dan egalitarianisme (kebersamaan) punah. Relasi sosial yang merupakan fondasi sebuah masyarakat menjadi sesuatu yang langka. Gotong-royong sebagai identitas bangsa tak dapat ditemui lagi. Yang tersisa adalah kompetisi dengan segala resiko prejudice-nya. Setiap orang gemar saling menjatuhkan demi mewujudkan cita-cita individu. Konflik antar pribadi dan golongan beranak-pinak. Semua itu berakar dari komunikasi yang tersendat sebagai konsekuensi logis dari relasi sosial yang terputus.
Revitalisasi Pendidikan
Dampak yang memilukan itu kiranya dapat dicegah dan diatasi dengan mengembalikan pendidikan pada kedudukan semula (hakikatnya). Setidaknya revitalisasi jadi pilihan utama. Penanaman nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh bangsa kita hendaknya ditanamakan pada setiap peserta didik secara lebih serius dalam proses pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya terwujud dalam patokan (baca: mengacu pada) nilai akhir atau nilai ujian.
Penanaman nilai-nilai etika lokal adalah sebuah upaya praktis yang harus ditempuh dalam rangka mengembalikan jati diri bangsa. Terutama sebagai benteng pertahanan untuk menghadang imperalisme kultural sebagai akibat globalisasi. Pembentukan kepribadian yang meliputi watak dan prilaku peserta didik hendaknya menjadi agenda utama pelaksanaan pendidikan.
Selain penanaman etika lokal, pendidikan agama juga memiliki peranan dalam pembentukan moral peserta didik. Pendidikan agama hendaknya dilakukan secara intens dengan kerjasama antar guru, orang tua, tokoh agama dan masyarakat. Pembinaan keberagamaan (religiositas) peserta didik tidak hanya dilaksanakan di sekolah yang terbatas jam pelajaran. Tetapi di berbagai tempat, di mana seorang peserta didik berada (keluarga dan lingkungan). Sehingga abjeksi moral dapat dicegah secara simultan dengan kerjasama semua elemen pendidikan informal (keluarga), formal (lembaga pendidikan) dan non-formal (masyarakat).
Setelah peserta didik ditempa dengan pendidikan moral yang menyangkut tanggungjawab pribadi, maka penanaman tata aturan pergaulan dalam bermasyarakat juga hendaknya diperhatikan sejak dini. Toleransi dan pemahaman tentang pluralitas (baca: pluralisme) adalah keperluan yang tidak dapat ditawar. Kedua hal tersebut harus ditanamkan sejak dini pada peserta didik. Terlebih bagi negara yang bhineka. Karena pluralisme adalah nafas dari ke-bhineka-an.
Penanaman toleransi dan pluralisme ini dutujukan demi terwujudnya nilai-nilai demokrasi dialogis dalam masyarakat. Sehingga setiap anggota masyarakat dapat berhubungan secara dialogis. Tidak ada lagi sekat pemisah strata sosial, golongan dan etnis. Komunikasi sebagai fondasi sebuah masyarakat menjadi semakin kuat. Gotong-royong semarak mewarnai kehidupan sehari-hari. Inilah masyarakat madani cita-cita bersama. Wallahu a’lam bish-shawab.
Pendidikan Adalah Pemekaran Potensi Anak
Anak adalah anugerah Tuhan yang paling berharga bagi orang tua. Setiap orang tua senantiasa mengupayakan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Mulai dari penyediaan kelengkapan menyambut kelahiran sang anak, membimbingnya di lingkungan keluarga dan menyekolahkannya. Semua dilakukan oleh orang tua guna membahagiakan sang anak.
Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua, demikian ungkapan yang mengakar dalam perikehidupan berkeluarga. Dengan upaya optimal, orang tua mengupayakan pendidikan terbaik bagi anaknya. Biaya pendidikan yang tinggi siap orang tua tanggung sebagai ongkos membahagiakan sang buah hati. Bahkan banyak orang tua yang mendatangkan guru les (bimbingan belajar) ke rumah mereka. Tiada lain, untuk menyiapkan kebahagiaan bagi sang anak di masa depan.
Semua yang dilakukan orang tua tersebut bermuara pada cita-cita supaya kelak anak mereka memiliki masa depan yang cerah dan gilang-gemintang dengan sejumlah prestasi. Bahkan melebihi apa yang dicapai oleh orang tua mereka. Keagungan harapan inilah kiranya yang hendak difahami oleh anak-anak saat ini. Besar jasa dan cita-cita yang dititipkan orang tua mereka hendaknya memacu motivasi mereka dalam belajar.
Namun di sisi lain, orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi setiap anak hendak pula memahami bahwa perhatian pada anak tidak boleh mengabaikan potensi dan minat mereka. Tidak lantas karena cita-cita orang tua yang tinggi, orang tua memaksa anak untuk mengikuti segala ketentuan orang tua dalam membahagiakan buah hati mereka. Anak juga manusia yang memiliki potensi, minat dan kehendak.
Anak bukanlah kertas putih yang siap diwarnai dengan tinta sesuka hati sebagaimana diungkapkan pengikut behaviorisme. Pendidikan bukan alat pemasung potensi dan kreativitas mereka. Hal ini karena setiap anak lahir dengan potensi dan minat masing-masing. Keragaman dan keunikan pontensi yang dimiliki setiap anak inilah yang akan menjadi keunggulannya.
Tugas pendidikan adalah sebagai alat bantu dalam memekarkan potensi yang dimiliki anak. Penyeragaman dan gaya indoktrinasi dalam pendidikan merupakan teknik usang dalam mendidik yang harus ditinggalkan. Pendidikan hendaknya dipandang sebagai proses pengembangan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik secara integral yang meliputi ranah kognitif, apektif dan psikomotorik.
Mengutip definisi pendidikan yang diungkapkan oleh Drijarkara, pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Maka seorang pendidik (orang tua, guru dan masyarakat) hendaknya memahami hakikat manusia sebagai bekal dalam membina manusia secara integral demi tercapainya masyarakat yang kreatif dan berakhlak sebagai obat sakit ibu pertiwi yang semakin akut.
Penulis, JAJANG BADRUZAMAN
Acuan Kelulusan Siswa
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) pada beberapa tahun terakhir selalu mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan di tanah air. Termasuk tahun pelaksanaan UN tahun ini. Apabila diperhatikan, tanggapan berbagai tanggapan itu muncul setelah ditetapkannya standar minimal nilai UN sebagai patokan kelulusan siswa. Dan standar nilai UN tersebut setiap tahun ditingkatkan.
Bagi pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, diadakannya UN bertujuan baik. Terutama untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara lain. Namun, bagi sebagian masyarakat menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak wajar. Karena kualitas pendidikan di tanah air yang belum merata. Apalagi kalau dilihat dari kualitas pengajar, sarana dan parasarana terdapat kesenjangan yang signifikan antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Sehingga sangat tidak memungkinkan menjadikan UN sebagai satu-satunya patokan kelulusan.
Berangkat dari asumsi itulah kiranya kebanyakan masyarakat menolak dijadikannya nilai UN sebagai standar kelulusan. Karena kualitas pendidikan tiap daerah berbeda-beda. Hal ini disebabkan belum meratanya pembangunan atau peningkatan pendidikan di tanah air. Masih terkonsentrasi pada daerah tertentu. Faktanya, ada beberapa sekolah yang hampir roboh dan tak layak pakai masih digunakan sebagai tempat belajar karena belum menerima bantuan renovasi dari pemerintah.
Barangkali hal itu telah menjadi permasalahan pendidikan yang usa ng di negeri ini. Telah banyak pakar pendidikan dan oran g yang peduli pada dunia pendidikan tanah air menyerukan supaya adanya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, usulan, kritikan dan tanggapan dalam berbagai bentuk yang telah disampaikan pada pemerintah hanya sedikit sekali yang ditindaklanjuti.
Walaupun tanggapan dari pemerintah dirasa kurang, ada baiknya kita senantiasa mengingatkan pemerintah supaya lekas menuntaskan permasalah pendidikan di negeri ini.
UN Dan Otonomi Pendidikan
UN sebagai salahsatu bentuk evaluasi, hendaknya difahami sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan nomor 19 tahun 2005 pasal 1 ayat 20, ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu pendidikan.
Adapun beberapa aspek yang menjadi objek penilaian dalam evaluasi termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil peserta didik secara berkesinambungan. Sehingga penilaian (evaluasi) yang dilakukan oleh pengajar lebih komprehensif.
Namun apabila UN dijadikan sebagai satu-satunya standar kelulusan, maka itu sudah tidak sesuai dengan UU tersebut. Dalam artian kita harus mengubah kebijakan tentang standar kelulusan. Dan penetapan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan siswa itu tidak sesuai dengan semangat otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi dalam bidang pendidikan.
Dengan alasan, dalam pelaksanaan UN saat ini yang dijadikan acuannya adalah Penilaian Acuan Patokan (PAN) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sehingga mengabaikan penilaian oleh lembaga atau pengajar yang setiap hari memantau proses pembelajaran siswa. Inilah ketidaksinkronan UN dengan otonomi pendidikan.
Acuan Kelulusan
Penilaian hasil evaluasi atau ujian dalam proses belajar mengajar (PBM) senatiasa mengacu pada acuan berikut.
Pertama, Penilaian Acuan Patokan (PAP) yaitu acuan atau rujukan penilaian pencapaian siswa dalam proses pembelajaran sesuai dengan standar penilaian yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pendidikan dalam lingkup tertentu. Dalam hal UN, maka pemerintahlah (baca: Departemen Pendidikan) yang menentukan acuan ini. Termasuk penetapan mengenai berapa nilai minimal siswa yang harus dicapai siswa sebagai penentu kelulusannya.
Keunggulan acuan ini adalah nilai minimal yang harus dicapai siswa peserta UN di seluruh wilayah di Ind onesia sama. Dan mudah mengawasinya karena dilaksanakan serentak.
Adapun kekurangannya, pengajar tidak memperhatikan nilai keseharian siswa atau prilaku siswa sehari-hari di sekolah dalam menetapakan kelulusan siswa. Serta siswa yang mencapai nilai standar relatif sedikit. Karena tenaga pengajar, sumber belajar (referensi) dan sarana pemebalajaran di setiap sekolah atau daerah berbeda-beda (tidak merata).
Acuan inilah rupanya yang digunakan oleh pemerintah kita. Sehingga siswa yang tidak mampu mencapai nilai minimal kelulusan dalam UN akan ditetapkan tidak lulus, walaupun nilai kesehariannya baik. Dengan mengacu pada acuan ini saja, maka hakikat dari proses pendidikan (pembentukan keribadian) tidak akan tercapai dan usa ha siswa dalam proses belajar selama beberapa tahun akan sia-sia.
Kedua, Penilain Acuan Norma (PAN). Acuan penilaian ini mengacu pada realitas pencapaian (prestasi) siswa dalam suatu kelas yang didasarkan pada rata-rata kelas atau lembaga. Sehingga nilai standar kelulusan setiap lembaga dan daerah berbeda satu sama lain.
Keunggulan penilaian dengan acuan ini akan memberi kewenangan kepada pengajar dan lembaga pendidikan untuk menentukan kelulusan siswa berdasarkan pada proses belajar siswa sehari-hari. Tidak hanya mengacu pada hasil UN saja. Sehingga penilaian ini dianggap lebih komprehensif dibanding dengan PAP.
Apabila kita menggunakan PAN sebagai acuan. Maka kita akan dihadapkan pada perbedaan dalam menentukan standar penilaian tiap daerah dan lembaga. Sehingga kita akan sulit mengukur kualitas pendidikan secara keseluruhan di Indonesia. Dan kita akan kalah cepat bersaing dengan negara lain yang menetapkan standar minimal kelulusan serta kita akan kesulitan menentukan kualitas pendidikan nasional sebagai bahan evaluasi pendidikan.
Ketiga, acuan yang merupakan kombinasi dari dari acuan yang pertama (PAP) dan kedua (PAN). Acuan ini bertujuan meminimalisir kekurangan pada acuan kesatu dan kedua. Dalam aplikasinya kita tetap mengadakan UN, tetapi tidak menjadikannya sebagai satu-satunya acuan kelulusan siswa. Dan sebagai acuan kelulusan siswa, kita menggunakan PAN (prestasi dan kerja-keras siswa sehari-hari) sebagai acuan sebagai penilaian proses.
Penulis berpendapat bahwa acuan penilaian yang ketiga lebih sesuai dengan kondisi real pendidikan Indonesia saat ini dan sinkron dengan otonomi pendidikan yang telah digulirkan. Terutama selaras dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1. Dan dengan bersandar pada acuan ini, tujuan evaluasi akan mudah dicapai. Setali tiga uang. Pemerintah akan dengan mudah melakukan penilaian kualitas pendidikan tanah air dengan mengadakan UN. Pengajar serta lembaga pendidikan memiliki peranan yang proporsional dalam menentukan kelulusan siswa.
Disamping hal tersebut di atas, ada sebuah catatan akhir bagi pemerintah yang hendak melakukan standarisasi pendidikan nasional, hendaknya lebih intens memperhatikan kualitas tenaga pengajar, bahan ajar dan sarana pembelajaran di seluruh pelosok negeri supaya tercapai kualitas pendidikan yang tinggi dan mampu bersaing dengan negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar